Vous êtes sur la page 1sur 107

TATKALA PUISI TAK LAGI DIBACA

TATKALA PUISI TAK LAGI DIBACA

EDISI REVISI

ASTAR SIREGAR

PENERBIT TULODONG Jakarta 2012

TATKALA PUISI TAK LAGI DIBACA Oleh : ASTAR SIREGAR ISBN : 978 / 979 /16449 / 2 / 1 2012 / UM / 01
Desain Sampul : Ny. Farida Astar Penata Letak : Abah

Hak Cipta dilindungi undang undang Diterbitkan oleh Penerbit Tulodong

Jl. Anyer XIV No. 25 RT 009/09 Jakarta 10310 Telp. 021-92280929, 0813-86486461 Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam Bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit Cetakan Pertama, 2012

DAFTAR ISI

1. Sambutan...vii

2. Beta Pasti Tuhan Baca../ix 3. Bertutur Aku Dalam Balada1 4. Antrean//49 5. Balada Yunta 59 6. Perenungan Diujung Musim 69 7. Biodata. 93

vi

SAMBUTAN

*)

Tatkala puisi tak lagi dibaca,

Kata-kata dianggap hampa.


Tatkala puisi tak lagi dibaca, Tegur-sapa kalimat didiamkan saja. Wahai anak manusia, Bercerminlah di kaca ! Tanyakan Anda ini apa dan siapa, Bagaimana Anda dulu diciptakan-Nya ? Tatkala puisi tak lagi dibaca, Perasaan dipasung dengan sengaja, Intuisi dibuat tak berdaya, Nalar dibiarkan sendiri berkuasa. Wahai anak manusia, Bercerminlah di kaca ! Dirimu tak lagi utuh bagai semula, Disaat Anda dulu diciptakan-Nya ? Tatkala puisi tak lagi dibaca, Komputer ditampilkan bagai dewa, Membuat keputusan untuk manusia Dan diterima begitu saja.

vii

Wahai anak manusia, Jangan biarkan Tuhan berpaling dari Anda ! DIA berbicara kepada ciptaan-Nya, Selaku makhluk yang utuh pembawaannya. Daoed JOESOEF

*) Diterima tgl 22 Maret 2008

viii

BETA PASTI TUHAN BACA I Sedari era dinasti Shang (1500-1027 sebelum masehi) puisi telah diagungkan sebagai bunga yang terindah dari budaya China. Bangsa ini telah menulis puisi melebihi negeri manapun di dunia. Dalam masa dinasti Tang (618-954) saja, setidaknya hidup 2.200 penyair dan telah ditemukan 48.900 puisi, diperkirakan yang hilang melebihi angka itu. Kita dapat mengenal China seutuhnya dengan mempelajari puisinya sedari tiga ribu tahun silam hingga kini. November 1945 di Chungking, Mao Tse Tung, lima tahun sebelum penunjukkannya sebagai Ketua RRC menulis salah satu sajak yang cukup terkenal berjudul Salju diterbitkan dalam kumpulan berjudul Feng Chien Tze (Puisi angin dan pasir). Disatu ketika penulisan sejarah, bisa diatur oleh penguasa atau lenyap karena ditutup dari dunia luar, tapi baris-baris puisi, nyanyian gadis di tengah sawah, elusan kuas para pelukis di kanvas, itulah sejarah yang terjadi sesungguhnya. Robert Frost, penyair gaek pujaan Amerika itu, satu ketika oleh almarhum Presiden John. F. Kennedy iminta mendeklamasikan puisinya pada perayaan hari kemerdekaan di halaman gedung putih. Demikianlah puisi sekaligus penyairnya disanjung dan dihargai.
ix

II. Kumpulan Tatkala Puisi Tak Lagi Dibaca ini kutulis dengan tema yang senada dengan yang telah dikeluhkan oleh saudara Murwanto sastrawan bergiat di Komunitas Lumbung Aksara (LA) di Kulon Progo, Yogyakarta .(Rubrik Kesusasteraan SK Kompas tanggal 26 April 2008) dengan judul Puisi, siapa masih peduli ? Mengapa keberadaan puisi tak dianggap penting di negeri ini ? Apakah di zaman yang serba susah, banyak orang kelaparan, puisi bisa menggantikan nasi? Apa pula kegunaan puisi ? Demikianlah antara lain, beliau bertanya dengan nada marah karena kecewa. Keterpurukan ekonomi saja tidak cukup menjelaskan keadaan ini. Walaupun saya sebagai ekonom melihat peranannya sangatlah besar. Sebaliknya ada beberapa negeri yang ekonominya makmur, puisi juga tak berkembang pesat. Chairil Anwar serta angkatannya hidup dalam masa susah, tapi karya yang mereka lahirkan sangat tinggi serta monumental. Seterusnya Rendra tetap produktif dibawah jepitan Orde Baru. Tidakkah Taufiq Ismail menulis puisinya di kala jaket kuning mahasiswa ber-bercak darah ? *) Apakah wawasan bangsa ini sudah sedemikian kerdil, sempit dan picik sehingga puisi nan berupa
x

mutu manikam yang berharga ini tidak lagi dilirik ?. Selama masih kudengar gadis pantai bersenandung berhiba-hiba menghantar matahari nan kan tidur, nyanyian petani di tengah sawah memuja permainya pratiwi kita, aku masih yakin, roh puisi masih mengelana di sanubari kita, bahwa saat ini kurang dihargai, bisa saja terjadi. Walaupun catatan sejarah puisi kita tidak sepurba China, tapi nenek moyang kita telah berpepatah petitih, berpantun, berseloka, bergurindam, senandungkan kidung di setiap peristiwa. Masa kecilku masih terngiang di telingaku, Dendang Melayu ibuku wanita Batak itu, tatkala me-ninabobokan kami berangkat tidur. Dendang nan penuh pantun, ramai seloka, sarat petuah. Taklah mungkin aku bisa memupus kenangan masa kecilku. Puisi senantiasa berada dalam nafas kehidupan kita di setiap saat. Apakah pribahasa, gurindam, pantun, hingga puisi mutakhir, masih diajarkan dari sejak di sekolah dasar ? Apakah Bapak-Ibu guru mewajibkan murid membaca buku sastera pula seperti disekolahku dulu ?
*) Poetry is a constant reminder of all the things that can only be said in one language has a social function ( T.S Eliot : on poetry and poets )

Mari kita galakkan budaya membaca puisi, bayangkan apa jadinya kalau dunia isinya hanya halxi

hal yang keras dan kering. Puisi adalah sajian yang sejuk dan menawan Ketidak-rukunan atas adanya perbedaan ; agama, persepsi politik, suku, dst, serta issu pelanggaran hak azazi manusia, sangatlah merusak citra kita sebagai bangsa. Pesan utama kumpulan puisi Tatkala Puisi Tak Lagi Dibaca ini , agar perbedaan-perbedaan diatas tidaklah harus menghalangi saling menghormati antar kita. Melalui puisi, sastra, dapat pula meng edukasi warga menuju masyarakat yang lebih tentram, damai Menulis puisi bagiku merupakan pelepasan sesuatu yang kupendam. Apakah mengenai duniaku sendiri ataukah menyentuh realita kehidupan, bagi saya tak pernah kujadikan masalah, karena sangat tergantung suara hati saya di suatu saat. Kalau hatiku sesak, akupun menulis, saya sangat sendu melihat suasana keterpurukan negeri kita dewasa ini. Tersendatnya banyak faktor yang satu sama lainnya saling himpit menghimpit, berat memberati, berputar laksana lingkaran setan. Sesungguhnya saya tidak bisa memberi jawabn yang pasti untuk kesemerawutan ini. Walaupun sebagai seorang yang memiliki disiplin ekonomi , lalu saya lebih melihatnya sebagai penyebab utamanya keterpurukan bidang itu. Tapi apakah faktor politik dan seterusnya tidak berperan pula ?
xii

Penyair seyogianya menyelami keadaan masyarakatnya, apalagi sedang menghadapi cobaan seperti sekarang. Penyair adalah penyampai curahan gejolak nurani negeri yang paling tulus. Dalam sajak saya berjudul Warkah buat Riris bait ke 2 saya pun menulis, -------------------Warkat ini kutulis, Selipkan pesan bagi penyair; Lasakkan diri di pengembaraan Alunan musim resapi Gemercingan anak jalanan gempita bom bunuh diri, Rekam, toreh, tutur dendangkan --------------------III Franz Kafka, penyair jenius Yahudi Praha itu, menulis di catatan hariannya Writing is a form of Prayer Kalau Max Brod sahabatnya, selama 22 tahun tidak mendokumentasikan tulisannya yang selesai atau belum, manusia esentrik nan meninggal karena TBC pada umur yang relatif muda (satu bulan menjelang 41) karya-karyanya tidak akan dikenal dunia seperti saat ini.

Lain pula halnya LiPo penyair pemabuk berat itu, yang hidup di era Dinasti Tang (618-954), sering
xiii

menghanyutkan puisi yang baru ditulisnya dialiran sungai, tapi masih tersisa 1.800 puisi dan diterbitkan oleh Ling Yang Pin, kemenakannya setelah dia meninggal. Bagi saya bahagia nan tak ada taranya kurasakan kala selesai menyalurkan sesuatu nan terpendam di hati dalam puisi. Semoga aku dapat terus berkarya mengisi sisa gentingnya waktu, karena dengan itu pulalah aku memuja-Nya. Beta pasti Tuhan baca.

Tapal Kuda, Cianjur, Juni 2008

xiv

BERTUTUR AKU DALAM BALADA

1 Aku hanya mencatat hari, Di buku harian tak berwajah Sekali hati terenyuh , kututurkan, kulampiaskan Sarat mendesak dilepas Kenangan lalu, peristiwa hari ini Visi kedepan mana kupasti Kutuliskan dan kuterus menulis, Jam dinding , lanjut berdetak Kesurupan aku dalam permenungan Di keheningan pergantian pagi Hanya ada sepi. Kala karya lahir , kulepas semua Legapun tiba Kurebak senyum di peraduan Karya adalah sesajen, Persembahan ketulusan Kantukpun mati di tengahnya Sekali kugoreskan pena, Rama-rama mengibaskan sayap Langit-lazuardi dipoles warna Aku dimabuk ectasy Udara adalah senandung Kukebat di simpul ketat Kudendangkan Kututurkan..............
11/2007

2 Coba kau rasa, kau resapi Nalurikan, pekakan hati Tahun mendatang, sebetulnya apa yang kita tuju sudah lama nilai samar Retorika hampa visi , diulang dikumandangkan Tanpa aksi nyata. Kue ekonomi lamban membengkak APBN defisit ditombok hutang Distribusi timpang Penduduk terus bertambah Geliatan pembangunan , tak mengimbanginya Pengangguran pun kian kentara.. Daya beli melemah Melaratpun merambah Itulah kita kini 62 tahun , tak dijamah rencana Desa ditinggal penghuni Hantu stres keterpurukan Mereka terlunta, di setiap terminal, di emper kota

Kuberpacu kepikunan Kutulisl madah kepiluan Mataku berkaca Di rongga , terowongan bolanya Ceriyati tergantung-gantung, merayapi dinding kebiadaban Pemuda lemparkan diri kekubangan lumpur gas Ibu bakar diri , bersama anaknya Belia minta maaf , gantung diri Kala kututurkan semua ini Yang benar saja, Kalau hatiku tidak merintih , meraung marah Muakkupun termuntah Maafkan aku. Di kelunya lidah, Terbata bata, kucoba jua mendeklamasikannya Telah mondar-mandir Presiden Diboyongnya istananya serta Berhari merenung , di tepi kubangan Formula dan janji diperbaharui Di penampungan , korban lumpur terkapar menunggu Pengungsi di bawah tugu bergelimpangan Meraung di depan istana pak Kalla Menunggu hingga kapan tiba Kompensasi desa mereka

Telah terhirup laut, tergunduli hutan Orde ke orde Tak ereksinya jua Kuasa, pelampiasan ego semata Nurani tak lagi peka Biar kumeradang atas kebuntuan ini Kan kuteriakkan, Yek-yel protes Semua kepedihan Semua kekesalan Semua keserakahan 3 Tak apalah menangis, sudah sepantasnya Penungguan ini terlalu lama, Isakkan rintihan sendumu Semburkan riak dahak Kantukkan lelahmu, terlelaplah Legakan sedih, Di fajar subuh nanti Kubangan kian mendanau Di atas langit pagi Elang meliuk , menukik , menanjak , menurun Semburan lumpur gas Meninggi, merendah, melambai-lambai Mengelu elu , meneriakkan selamat pagi

Tersedu , hingga kapan Formula apa lagi , kan disuguhkan Manusia malang Warga Pratiwi kita , mereka terlunta Basah air mata. Warga Jenggala itu , menunggu rumah mereka Kan dituturkannya generasi ke generasi Dimahkamah semua sejarah kan terbuka Apapun hitung-hitunganmu Lakukan dengan hati Jangan tunggu mereka bebal Selamat pagi Tanah Rencong Kusenandungkan kau di pagi ini Telah kusapa gadis pantai Mengayuh perahu sarat kelapa Seusai tsunami di tahun silam Membara masih di sanubari, gamang mengekang Di titian papan luar desa Anak-anak berkecimpung, ibu-ibu mencuci Kusyukuri kehidupan belum punah Kotek ayam memecah sunyi Pagipun menyibukkan geliatnya Telah kulihat remaja manortor Bertalunya ronggeng patam-patam Nadiku diterjang memanasnya darah Rentakan tari debus, misterinya tari Saman

Gemulainya Srimpi , sensualnya Jaipongan Gemuruhnya tari perang Roh keakuanku melarut Kutelungkup, kucium aroma Bunda Kutelentang , surya pagi ramah Menjamah, gunung ,lembah , birunya samudera. Aku bertutur sepanjang kisah Melampiaskan gundah hatiku Telah kurasai kehilangan pulau Keleleran kita disambar lanun Dendang Mak Inang Pulau Kampai masih bergema Kekerabatan lah lama hanyut Dibuai ombak selat Malaka Keserumpunan tetap sama Nilai kita lah beda Rindupun , manalah lagi terpaut ? Telah disirami air melati Pusara pahlawan nusantara Hatiku pengap, kuteriakkan pekik Kuacungkan tinju keudara Wajah mereka bermunculan Di kaki langit berbatas laut Di celah lembah, di puncak bukit Di setiap sudut-sudut negeri Mereka telah pagari, nusantara semolek ini Falsafah , nilai budaya , Merah Putih di 1945 Aba-aba penuntun arah ufuk yang kita kan tuju

Terpuruk melolong Seharusnya kita malu Atas warisan ini semua


1 Juli 2007

4 *)Telah dia lihat Presiden silih berganti Taklah pernah dia tangisi kepergian itu Apapun yang kan disenandungkan Dia tak lagi mau tahu Sudahlah timpas kesalnya Dengan diri pun , dia tak lagi berdamai Mengapa pula hiraukan semua itu Jangan tanya etika Karena dia lagi tak percaya Dijalan setapak yang berliku Dia telusuri pasrah Disapanya mesra Tuhan Setiap butuh saja. Di lampu pengamanan Di keseliuran , perih kehidupan Hanya kebinalan dan sandiwara Bengalnya melanggarnya jua Ikuti warna warni Mabuklah selagi bisa Kejujuran hati , manalah pernah ada Disangkutkannya sudah di gerbang Di kala pamit dari desa
Juli 2007

*) Lengkingan penganggur

5 *) Cakalele digelar , Pattimura bangkit Melompat kedepan , menantang Mengacungkan kelewangnya Suara berat lantang, berteriak Di mana musuh ? 1928 silam, Kita berikrar Goreskan tinta darah Sang Saka kita sama Selama tak ada ketulusan Degup jantung menabuh irama berbeda Mimpi mereka, ....... Apakah di sini , bersama kita ?
3/7/2007 *) Kegaduhan upacara penyambutan SBY di Ambon

6 79 tahun silam Rindu nan sama dipadu Pemuda bersumpah Tekad bersatu Roh hari itu , membelalak menantang Kita pekikkan , merdeka Dikancah agressi ke agressi Perang kemerdekaan dimulai Membumi hanguskan Bandung Surabaya banjir darah
8

Ujung ke ujung negeri Dibakar sumpah itu Hari ini , mari kita pertanyakan Tekad itu, masihkah bermakna Di sanubari menyatu ? Berdebu redup Terpampang masih di pustaka abadi Wajah wajah belia melintas Salam bagimu angkatan 28 Upacara apa yang kan digelar ? Di tengah semua kebohongan ini Telah kulihat senyum kemenangan , Di Mahkamah Peradilan Koruptor jadi pejabat , diusung seratus pengacara Manut bapak bapaknya Kepemudaan sedang bertengkar kuasa Di 2009 aku trauma 7
Untuk : Marah Sutan Engku M. Sjafel

29 10 2007

Pemimpi-pemimpi besar itu Telah ditelan jaman Gagasan pendidikan, pengajaran Mengorbit, mengitari garis lintang

Berkeliaran bolak balik Katulistiwa ke katulistiwa Tanpa pengakuan penguasa Bermodal ajaran, bermodal petuah Harga diri, etos kerja, sikap mandiri Santiniketan di Kayu Tanam Tagore berinkarnasi di sana Membersihkan kehidupan lalu Menghamba, bersiklus peningkatan pengabdian Dibawah pepohonan, lapangan terbuka Desa Pelabihan kaki bukit Kampung moyang, kampung datuk Kampung sanak, kampung anak nagari kita Nusantara kaya ini Miskin wawasan Memprioritaskannya, Membumi.... Kan kusenandungkan , mereka yang terlupakan Kudaki bukit Tandikat , kutelusuri lembah Kelas belajar duduk bersila di lantai bangsal Rohmu sudah mengawang Harimu selesai sudah Hanya kenangan Pondok-pondok yang bertebaran Kicau murai , dengung kumbang Lompatan tupai, cerocehan monyet Dahan kedahan di pepohonan

10

Kau bawa semua aurora Kala pamitan di kala itu Sia-sia mengubur masa lalu, Selagi puisi terdeklamasikan Sebenderang siang dituturkannya Senandung dendang hati Tuhanku, Limpahkan istirahat abadi Bagi mereka , engku-engku pengabdi Berjuta tadahan tangan Usapan wajah harap RidhoMu, hanya Kau Perkenankanlah ..................... Kuselesaikan kuliahku , kupenuhi harapan ibu Ku diserap birokrasi , kucari nafkah Tanpa perdebatan tak ada kebebasan Selamanya atas berkenan Intelektualku dipasung Tidak lagi merenung , menganalisa Sekolah kehidupan , jauh lebih berliku dari Salemba Moral tinggi , otak cemerlang , rindu berbakti Cita cita adalah derita , kecewa berkepanjangan Semoga engkau jadi engkau petuah mereka Hatilah yang mengkomandokan Irama membuai tak kenal dusta Diterpa lembut, ketulusan ada di sana Sepasang merpati berselancar , bahagia dibuai alun

11

Pengabdian sejati Tak kenal lelah sampai akhir Penantian selama ini Badut-badut politik bergantian Mentelantarkan generasi Rakyat dekil lapar menggaba-gabai gerbang desa Ratu adil belum muncul mensejahterakan negeri Halilintar di siang itu Banjir bandang di pagi esoknya Tanah di retak kemarau Musim berobah Seharusnya zaman baru tiba Penari gelisah menunggu Gamelan keramat di Balai Desa Gatot Kaca gandrung , kehilangan sayap Bertahun diperagakannya Egonya sendiri Keedanan belum berujung Entah berapa tahun lagi.
01/08/2007

8
Untuk : Penyair Amir Hamzah

Manalah ku sanggup menahan isak Kala lintasi pusara itu Terasa mengepul dendam rindu Menggelegakkan mencirim di permukaan Dicelup ujung biang lala
12

Jauh sudah tanah Silindung Memetik gitar di bawah purnama Abang lewat , adik meraung Nak mengadu kepada siapa Telah kulihat gadis menangguk Udang ditangguk di sungai Bilah Menjala senangin di Bagan Asahan Capek sudah ku mengangguk Menggelepar di atas papan Apalah lagi ada gunanya Selain meredam rindu di dada Tak pun kami percaya Bukan manusia sebengis itu Bersarung goni di pagi buta, Disudahi algojo bangsa sendiri Bertindih , dijejali, di satu kubur Tanpa talkin , tanpa doa Mereka berteriak demi revolusi Di remang subuh , kembang cempaka Bebas lepas, menerawang kemana Pekubuan Tanjung Pura tempat lasak memikat balam, Tempat Bunda melahirkan ananda, Penyair Langkat musafir lata, Solo kota adinda Gagal di dunia taklah mengapa Di kaki tachtaNya di atas sana Di ambal merah kita bercinta

13

Kesultanan Langkat, Rokan di Riau Kerajaan Melayu sambung menyambung Luluh lantak , porak poranda Basah kuyub bermandi darah Digerayangi , diperkosa, laskar mabuk Harimau liar , kesurupan partai Mata garang merah mengantuk Pesta liar para jahanam Menyucuk jantung , putra bangsawan Suhadah, pujangga pejuang negeri Kebun lada Kuala Begumit Tempat menebas rumpun melati Kala subuh pergantian hari. Semua diam tutup mulut Mega berarak takpun ditangisi Lintasi teratak Bonda Langkat Musafir daif undur diri Jauhi dunia kesisi Dewa Sentosa diri di senyap sunyi Basilam tempat mengaji Pantai Cermin mencari kepah Taklah pengorbanan yang sia-sia Selama Tuhan di atas sana
3/11/2007 Mencirim : Sei Mencirim

9
14

Betapa marak Peluru dum-dum ditembakkan Gurkha Pijar Api layapi langit, Nyala melalap, melahap kota Medan area dijilat neraka Penakluk nan tiba terperangah Dihadang laskar bermodal tekad Kepulan asap mengepung surya Kembang api di pagi buta Kental darah genangi jalanan Kesawan pusat belanja Kampung Keling ke sentral pasar Berputih mata sudahlah lama Rasa terhina muka ditampar Pasukan kolonial mendarat Dihadang di Titi Papan Laskar liar senjata rampasan Caci-maki mereka marah Imperialis kita kikis Membusuk mayat di atas ganggang Kuala Deli semakin keruh Menceloteh bedil di kota Medan Si Butet ditinggal, di lelap tidur Lintasi rambung ke rambung Berhari bertahan di gorong kota Di Tembung ....

15

Peluru dum dum memburai perut Takpun terasa Beribu mereka , tak berpusara , tak dicatat, Membusuk di parit-parit Tak berpatung, tak bertugu Hanya dalam sanubari melegenda Sebelum ketemu, tetap ditunggu Tanpa pangkat di bahu, di setiap mimpi Hanya perintah jelas Hadang musuh ... !! *)

Tetes menitis batu, Manalah sejarah Kuat melupa seluruh masa Istana, mesjid raya, Rumah sakit, rumah penjara Sudut kota kan bersaksi Pertempuran melahirkan pahlawan

Di satu subuh tinggalkan rumah, Dosa apa yang diemban Medan terbakar berselubung asap Pengungsian itu dimulai Kaki bukit, riam jurang Di hutan perawan, Udang di balik batu Harpa rotan, dengung lebah Mengiringi kicau, Lengkingan siamang bersautan di kejauhan

16

Walau tak mengerti Kucatat peristiwa ini Bukan untuk dilantamkan Jutaan bocah sepertiku, kala itu Tak ada yang istimewa Kalian baca saja Runduk tafakkhur, Bagi mereka yang mundur, Gugur kala melarikan diri, Tertembak di jalanan, terapung di kuala, Dikenal tak dikenal sama saja Bocah kecil orang dewasa Semua yang dilalap api Tentara resmi, laskar rakyat Sukarelawan, pengecut, pemberani Semua yang terlibat , hidup atau mati Selamat bagi yang kalah Angkat tabik beri hormat Panjatkan doa
7/12/2007

Catatan : *) 1946 Bung Hatta sedang di Sibolga , ketika mendengar Pasukan mendarat di Belawan Seketika itu jua , dia perintahkan seluruh kekuatan yang ada menghadang musuh. Butet : Nama panggilan anak perempuan di Tapanuli

17

10 Apa yang kita rayakan hari ini ? Pustaka mencatat Sejarah kepahlawanan masa lalu negeri Kenapa terlupa , membalik lembarannya Panutan tak lagi muncul , kesantunan pupus, Generasi hilang percuma TKW kontrak mati Tak terlindungi, demi sesuap nasi Di pagi ini, Janji, wacana-wacana, retorika, Berjam-jam dipaparkan Depan sidang nan terkantuk-kantuk Kemarau yang ganas, meretak sawah Desa tidak lagi memanjat pinang Keterpurukan, Sejahtera di fatamorgana, bayangan permainan cahaya Itulah kita kini Kebersamaan belum terpatri Perjalanan masih jauh, kian menanjak Yakinlah karena kita mau. Mari rayakan, apa adanya
17/8/2007

11 Siap tak lagi menunggu Sekali adzan mengudara , semua terpanggil Tekad tak butuh kalkulasi Gendrang perang telah dipalu, Seru adzan mengkomando
18

Handuk melilit kepala , sarung di pinggang Tanpa sepatu , menyerbu Pasukan tak terlatih , menghujat panser Mati tak perih lagi di hari itu 10 November 1945, Surabaya bersimbah darah Sudah 744 bulan sabit , dimakan purnama Ribuan masih , tak tentu kubur Gagak hitam kehabisan suara, Tak didata , tak bernama Terlupakan tak dikenang Hilang didaur ulang bumi Mereka yang menangkan perang, Mereka jua yang merdekakan negeri Sudah 22630 siang , dimakan malam Hari ini , apa yang kita kenang ? Apa pula yang kita lupa ? Kita tetapkan Pahlawan Yang lainnya apa ? Issu utama Harga minyak mendekati seratus Bermunculan capres, Dicari Pahlawan ?
10/11/2007 Catatan : 744 = 62 x 12 22630 = 62 x 365 US $ 100 per-barrel

19

12 Nol - nol, Indonesia , menahan Rusia Seluruh rumah berjingkrak Kupeluk ayahku, mataku berkaca Beruang merah raksasa ditahan Dunia berebut peta, Indonesia di mana ? Diperpanjangan waktu, kecolongan satu Taklah mengurangi kebanggaanku Kita setara kelas dunia Di mana saja, tak lagi silau menatap Mereka Pahlawan, Bertahun tertempel di dinding kamar Kuhapal, kupuja Di Narita, kala transit Depan belalai gajah , sepatu harus buka Kita diteroriskan di setiap bandara Aku malu, aku mutung , aku sedih Alangkah terpuruknya Kebanggaan mana lagi tersisa saat ini Tan Yoe Hok , Rudy Hartono, memboyong piala Elias Pical , menganvaskan penantangnya Aku rindu masa itu Kala mata tak silau menatap
15/8/2007

20

13
Untuk: Ichwan Junus, Bupati Muko-Muko, Sobatku

Telah kudengar alur getaran Gemuruh memporak perandakan Lintasan Bengkulu Muko-Muko Bertebaran onggokan bangunan Mahluk lintang pukang Meneriakkan nama Tuhan Dialah yang termudah Dihubungi di malapetaka ini Setiap saat pintuNya terbuka Tak sedetikpun lengah, Kala Presiden dan jajarannya, Lelap.

Getaran menjulur melanda Naga berkisar di bawah permukaan Bukit runtuh diobrak-abriknya Tebing menganga di patahan Berobohan pohon Tsunami menerjang , menyeret Perut laut muntahkan gelombang kemarahan Kala lempeng-lempeng Benua Beratus tahun lelap tertidur Di hari naas itu , bertabrakan Menggoyang, menggelombang, melanda Pemukiman yang ramah ini

21

Demi masa di abad lalu Kerakatau muntahkan , lahar batu api Melemparkan kapal kepemukiman Di permukaan, nyembulkan bayinya Atmosfir dunia dikotori debu Bila siklusnya tiba, dia pasti kembali Maha Kuasa mengatur Dalam dekade , dalam abad Pergeseran lempeng merangkak pasti Hanya Dia yang tahu, kapan detiknya tiba Dikursinya Dia berjaga tak pernah lengah Kealpaan adalah milik kita , hanya meraba Ramadhan dipenuhi musibah Kebakaran pasar Turi, pemukiman kumuh kota Hutan Klotok di Kediri Sesungguhnya air mata telah kering Dianggukkan sudah sepuas duka. Masih terbayang terjangan air. Kotor menyeret, apa menghalang Trauma menghantuiku Kehilangan semua, tinggal secercah harapan Uluran tangan. Hentikan pertengkaran Detik sangat menentukan Anak burung lah terlempar Dari sarangnya keseberang bukit
22

Di pengungsian tak bertenda , Menciut-ciut................. Dekapan induknya Sambung menggaung Seberangi lembah , lintasi bukit Terseret gundukan luapan Mengendap kedasar laut Nusantara gugusan pulau, Dililit lempengan, rawan bergeser Kepundan api, pantai berjuta nyiur Belantara tropis paruh dunia. Aquarium ikan hias Keragaman dendang, degung gong, kibasan tari Mesranya kejemukan ini Pelangi kehidupan gerimis pagi Terlena di paduan warna Tanah bunda kusayang Manalah mungkin kuberpaling Muntahan kemarahan redam Fajar seperti sediakala Kan mengintip esok Episode baru Camar laut meliuk melangit Semua bangkit, persembahkan pujaan Dadu takdir berputar Mari sambut di atas kerja Pertengkaran politik, ramaikan demokrasi Penggusuran , jalan terus,

23

Kemiskinan meninting mangkuk nasinya Lempeng bumi bersalaman Gunung api terbatuk, lahar panas landa desa Jagad raya berputar di porosnya masih. Sang Raja Maharaja pemilik semua ini Siaga di atas kursinya Sia-sia membendung takdir Biarlah puisi senandung bernyanyi Ada sendu, ada mesra , ada mutung Panjatkan doa yang tersisa.
Jkt 24/7/2007

14
Untuk : Frederick Sitiung Guru desa Poepe

Saudaraku, Kala Nusantara lelap, Ufukmu membuka hari , fajarmu menyingsing , Menepis kabut , menyapu buih Tergidik kekek kasuari Mekikkan selamat pagi Betapa pengab rindu, Papua aku datang Kutelusuri lembah Memberamo Hutan perawan Arfak, Tamran Teluk Bintuni, danau Bian Kudengar hutan berdendang Empasan ombak pantai Gelepar resah lengking rusa Desis reptil , siul satwa , pekik cendrawasih
24

Kulintasi belantara , kualuri sungaimu Hatiku melarut Kampung Poepe, desa Walputi, Merauke Ujung timur nusantara 15 tahun sudah , kulupa mudik ke Ranto Pao Kutercenung , aneka ragam kupu-kupu Satwa teluk Cendrawasih Rangkong, kapinis, bentet, blekek Reptil amfibi, ikan, serangga Penggegar rimba , hutan gelam di Wasur Kurambah keperawanan ini semua Hutan bakau teluk Betuni , rawa teluk Etna Puncak salju , ke laut Arafura Terumbu karang Nusambier Pulau Ayu, pulau Asia Mahkota berlian kepala burung Hatiku kutambat di sini Bukit berkabut, Teluk terumbu karang , pantai penyu laut Lenggok duyung di dasar , jelitanya anggrek mekar Bertebaran di dahan pepohonan Melingkari danau-danau teduh bermisteri Kurangkul seisinya Hatiku bernyanyi , kunikmati kebebasan Mencintai semua, damai di setiap pori Saling menghargai , masing mengenal Terbuka hati , satu irama

25

Telah berkali kusapa Tuhan, Di tebing sungai, di kesunyian hutan Di keheningan telaga danau Di deburan ombak pantai Di arus , keramba ikan Di malasnya sungai mengalur Simponi harpa, tiupan angin di belantara Kenapa kita usik kedamaian ini ??? Ratap ketidak adilan melangit Betapa hati terluka Aku datang, saudaraku Kupeluk kau , semegap hatiku.
5/9/2007

15
Untuk : - Charles Darwin - Henry David Thoureau

Penyendiri di marak sepi, Anjing laut menguap di bungkahan es Alun samudra gemercik di batu-batu, Bergeser tambun penyu menyembul Camar laut menanjak menukik Musim panas memoles langit Galapagos menyepi di terselatan Pacific Evolusi di pacu ke revolusi, Lintasan di bayar mahal ........ Cacing laut lemas di pemanasan Penyu berendam tak lagi mendaki Gerah melelehkan gumpalan abadi, Anjing lautpun kehilangan rantau
26

Inci demi inci, Garis pulau merendam diri Gerah bumi, Arus hangat berseliur beraduk Pantai tersapu, kepedalaman Tunda ratifikasi ... Mengelak berpindah pindah, Ulur tahun Gerah neraka kian membumi, Bali kan tenggelam sebatas kelapa Memelihara damai di runcing sangkur Balistik , jelajahi benua, Roket mengarungi samudera langit Perang bintang disimulasi, Mematok lahan ambisi, Adi kuasa saling beradu Tendangan katrina terlupa Onggokan masih endapi hunian Peta jalan Bali disetujui, Panjang terbentang, Masih jauh.... Mari kita jalani bersama Roket menggendong nuklir Meledak di jaringan maya, Kilapan membersit langit Serpihan menggelegakkan samudera Berpacu mengejar ambisi,

27

Kalkulasi bekukan nurani Rudal nan membentur permukiman Lelap, seisinya rata.... Bertahun pertempuran ke pertempuran Pagari batas territori, Pertahankan ... Sangkur terhunus dihadapkan Perundingan ke perundingan ... Di garis lintang 38, Ucapkan selamat berpisah Air mata membeku , digigil dingin Korea terbelah mencekam rindu Tari gendrang, lambaian selendang Kibasan hati menyatu, Sanak nan terpisah... Tebing Barat, Yerussalem, Berenggutan di atas keranda, Tanah suci agama Tuhan Jammu dan Kashmir, Agama memisah saudara Batas de facto, Selisih tak berkesudahan...

28

Kepulauan spratly, Semburan gas, genangan minyak Lambaian nyiur berbalasan Senjata terkokang, Berhadapan sesama tetangga Kabut pasir terangkat keatas Tikus mengubur diri, Badai gurun mengebut, Mengejar Saddam kekubunya Euphrates dan Tigris, Membelah lempeng, Jajirah Mesopotamia Di jilat lidah semburan api Bara berapi seberangi teluk Ladang minyak semburkan nyala Pipa nan membelah plateau Di genjot , dipompakan Irak , api diselimuti sekam, Sewaktu, sekali, mengumbar nyala Afganistan, Rubah gua bukit batu Teror berperisai sahid Baju besi gemerincing Gurun ke pulau Tak berbentuk tapi nyata Kembang opium merebak, Salju abadi di beku dingin Malam gurun nan kudus

29

Kala bintang bermain mata Samovar menghalau dingin Teh perdamaian menunggu Thoreau, Telaga Walden tak lagi berpondok Paru alam sesak bernafas Dedaunan dicelup karbon Keaslian beradaptasi Lelucon nan meletihkan Satu dan lainnya, Saling berimitasi Dimana jati diri Meletak fundasi dunia sendiri Segarnya nafas, lengkingan hutan Tetes embun dedaunan Mengalir beriak menuju samudera Betapa anggun, Menyusuri kedamaian ini Hampanya hidup untuk sia-sia Sepuasnya nikmati, Musik nan mengawang Luapan cinta nan tak terpaparkan Salak anjingpun memuja Mahakuasa Air mata meleleh Atas ciptaanNya sendiri Terkagum...

30

Di pengap polusi bumi, Teror, pertempuran, perang Nafsu kuasa menghantui damai Tak sejengkalpun lagi, Sudut bumi bebas ancaman Pemantiknya di tangan politisi Perdamaian tak bertengger Atas sangkur berhulu ledak Sekali picu, Kan melahap semua Planet kita bersama....
16/12/2007 Catatan : Charles Darwin : Ahli biologi, Bapak Teori Evoluasi Origin of Species abad 19 Thoureau : naturalis, penyair, abad 19 Concord, Massachusetts USA. Bali Road Map , hasil konfrensi PBB mengenai perobahan iklim, Nusa Dua Bali. Samavar = Pemanas air untuk teh di Rusia.

16
Untuk : Bung Emil Bung Syahrir

Tak lagi berteriak banting meja, Mengusung poster yang tak dibaca, Kalian kenalanku, elit yang ditunjuk Berkantor di istana , dapur kekuasaan, Mengatasi keterpurukan Kudoakan kalian berfungsi

31

Kala kubualkan di desa Kalian alumnus, se almamater Seketika berjubel keluhan, Semua mendesak segera tindakan HP, telepon rumah, tak pernah tidur Kupusing sendiri Sedari kalian berkantor di istana Kita tak pernah ketemu Nomor HP pun , aku tak punya Bak penjarah BLBI kumenghilang Antar jemput cucu ke sekolah Sobat, Tuluskan hatimu Tanpa pamrih, mengabdilah Kan kutanyakan nanti, Apa yang berobah , sejak kalian berkantor disana ? 2020 , kan di mana kita ? Puisi bersenandung asmara Lantunkan melangit Lengkingan pelampiasan sendu Melolong tinggi mendayu Jeritan rindu , berselancar di alunan irama Sekali cinta menyapa Kemana saja ikuti , ratapi
19/8/2007

32

17
Untuk : Bung Emil Salim

Eligi kutulis, kala balong menjadi danau Pulau bopeng bak gasing dipangkahi Di kemarau, kering merekah, Tanduspun merambah Berwindu-windu pasir laut dikeduk Granit, pasir darat, ditambang Dimuat diseberangkan Tak ada yang terusik, tak pula terhina Resesi yang berkepanjangan ini, terlalu lama Miskin terpuruk, harga diripun hilang Orde ke Orde sama saja Ekspor pasir dilarang Granit masih ditambang Janji air 100 tahun tetap terbuka Tongkang, kapal tunda penyelundup Berlindung dicelah bakau Sepadan Ligitan, dalam kenangan Malaysia, modernisasi pertahanan Ambalat dilanggar Sebai, Karimun, Pulau Nipah, tenggelam tak di reklamasi Batas teritorial hilang terlantar

33

Tak bermercu-tak bersuar Telur penyu takpun dipungut, Tak pun bernama Tertinggal, menunggu singa menerkam Dicaplok bajak laut, disamun lanun
18/3/2007

18 Seperimitip angkuhnya ego, Tamak yang tak bertepi Pemusnah diri sendiri Bila kan sadar berhenti Kota yang tak lelah mengepul Gurun lupa menangis Sungai tak lagi ramah Samudera tenang beriak Di pemanasan ini Topan menggunungkan ombak Menjilat daratan Musnahkan kehidupan Camar enggan melayap Kontinen bergeser, Pulau pun hilang Wajah bumi berobah Direndam cairnya kutub Atmosfir terpolusi Aroma kepulan asap Sepengap got Nafas hutan tak sanggup menahan
34

Infra merah terperangkap Memanggang bumi Pemusnahan bumi berjalan Virus pengap berkeliaran Kontaminasi merambah Pencemaran sempurna Kehidupan berangsur punah Bumi kerdil ringkik Terbatuk, paru berdarah Daunpun gugur sebelum musim Bumi meleleh Neraka yang di sulut sendiri Kita sebut pembangunan Kyoto setengah hati, Kebudayaan tak mendukung Politik penyepelean polusi Antartika memuai Arus Samudera memanas Katarina kesurupan Mendongkrak ombak Membanjiri pemukiman Puncak Kalimanjaro tak lagi bersalju Kapan kita berhenti ? Tanya politisi, di mana hati mereka ?
27/8/2007
Kyoto : Persetujuan Kyoto, untuk mengurangi Pemanasan Bumi, Amerika, Australia tidak meratifikasinya saat itu.

35

19

Hari itu , lowongan terbuka, 40 juta penggangur kurang seribu Kala tersangka menaiki tangga Pengeras suara memekikkan yel yel protes Spanduk diacungkan tinggi Gerbang Mahkamah hadang arak-arakan Adzan Ashar berkumandang Bubar.. Amplop masih tersisa Pesanan meningkat, dibutuhkan segera : -Demo bus-way Pondok Indah -Ahli perakit bahan peledak -Pengarak para tersangka korupsi -Meratapi cina mati Di kemacetan ini Berapa simpang butuh pak Ogah ? Kau hitung saja
11/11/2007 Catatan khaki : Pak Ogah : Pengangguran tak kentara Ikut membantu mengatur kemacetan, Harapan tip sesuai dengan kerelaan

36

20
Untuk : ISEI

Mazhab ekonomi apalagi, Dicoba diterapkan, Lumbung - desa belum juga penuh Sembako menanjak, Antre tak berkesudahan 62 tahun waktu yang lama Apa yang salah Jika masih seterpuruk ini ? Ribuan Doktor, maha Sarjana Universitas resmi, tak resmi Asli, Palsu, Alamiah, Cangkokan Petengtengan berkeliaran Gelar kebangsawanan mutakhir kita Feodalisme ganti baju Politisi, Penghulu, Dubalang, Manti Pengusaha, mendambakannya Kampus-Ruko, Bertebaran menjajakan Budaya Selebriti, Menghantui menghambat pembangunan Di mana moral, di mana malu ? Silahkan jawab sendiri.

37

Menjelang Ramadhan penuh berkah ini, Harga melambung Gerah kemarau, Ditengah PHK Negeri adem saja ? Kutanya kau
7/9/2007 ISEI : Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia

21 Angker, dikeramatkan ...., Pencakar menjulang. Terpercaya amanah : Kawal inflasi ...... Negeri tersentak, berkunang, kawasan rambahkan bocor, sel, pori meleleh muntah Limbah jalang para penyamun .... Pundi negeri diamankan lanun, Cemar berkontaminasi, radiasi susupi sudut penjuru In God we trust *), seutuhnya percaya. Kontemplasi, tenangkan diri. Jijik pun galau ....
19/8/2008

38

22
Untuk : K.P.K

Geram menggelegak bibir terkatup, Kala segerombolan abdi negara dengan pongahnya Menerkam mencabik tatanan, Tanpa malu tak kenal sesal Merekayasa dakwaan demi imbalan, (Kali ini tertangkap tangan ) Luluh lantakkan sendi negeri, Bertimbun pun muak sudah Jangan tunggu muntah tertumpah Ayo Bung, hentikan ragu !!! Kinilah saatnya, jangan lepas. Gempita negeri berteriak Tumpas .... !!!
22 Juni 2008

23 Telah kulambaikan tangan Kekaki langit senja kemenangan Akhir Ramadhan disore itu Laron meletupkan knalpotnya Meriuhi Pantura Berzig-zag sekeluarga Tancap gas , jalan berlobang Di sela bus antar kota

39

Bukit pitak pusara berlumut Kenang semua nostalgia menyayat Beribu mereka pengabdi sejati Bahu membahu di masa susah Kenal tak dikenal Terlupakan sejarah Didera sepi Kembali ke arasyi Ilahi Lintasi mayapada langit Kotek ayam kesepian , desa tertinggal Generasi bermigrasi kemana saja Mudik nyekar , mereka tiba Menyambut Syawal
18 10 2007

24 Rawa bakau hunian peri, Berpelukan monyet di dahan pohon, Jin di jembatan saling menyapa Bangau putih berbasah kaki Kecebong berseliuran Di permukaan genangan lumpur Reklamasi menimbun silam Di gerbang kutercenung Kutatap dahsyatnya perubahan Kala bangunan beton berhimpitan Menyambut mengelukan , terasa haru

40

Kubaca garis lengkung langit Meliuk camar berlatih terbang Ramah ombak mengelus pantai Samudera berujung cakrawala Pulau Seribu aroma pesona Gugusan hijau menghimbau Berseluncur angin , menantang layar dikembang Sepi bermunculan di jermal, Terpanggang terik kehidupan Kucari Tuhan di jagad raya

Sekunar, Pinisi bersenggolan menunggu Angin semilir dengan gemasnya berseluncur Mengelus, mencium permukaan samudera Musik alam bernyanyi Saat itu , Tuhanpun serta menari . Nisan kuburan tua, putih berbaris Kehidupan di kematian , kucoba mengerti-inya, Individu dengan kodratnya Ummat di hadapan Tuhan Nada sendu cinta, teramatlah manisnya Deburan ombak di keheningan Roh lah lama mudik kenegeri jauh.
Ancol. 9/11/2007

41

25 Menghindari perang, menunda damai Teror dihadang teror, Penembak gelap di balik reruntuhan Pemerintah tak bermahkota Pertempuran , kawasan ke kawasan Perang mutahir tanpa pemenang

Jangan acak, jangan campuri Kehilangan pandang, sarat kepentingan Bahagia yang dipertengkarkan Dimana likunya, pastinya mereka yang hapal Berapa sudah dekade mengunyah tahun Puing berserakan tak dijamah Ayolah putuskan sendiri kalian bisa Lebanon, Tebing terjal laut Mediterranea Mendesing angin sejuk semilir Mengelus landai bukit zaitun Kurindu melintasimu kembali Di usiaku ini, setidaknya sekali lagi.
27/11/2007 Catatan Kaki : Terakhir kulintasi Lebanon , kala mendampingi DR. Saleh Afiff (Bappenas) dalam penerbangan Frankfurt Beirut Jeddah , Route PANAM 002, Kala itu Cease Fire, dua hari disana

42

26 Senjata mendor demo, Semanggi berdarah, Kampus dibidik Mahasiswa tersungkur diusung temannya Mal terbakar, asap mengepul Mengendus aroma jangat Kala semua itu, Aku hanya terperangah Menonton.... Tsunami menyeret ratusan ribu nyawa, Menerjang bandar, Lumat di sapunya.......... Bertahun sendu ini dipendam Aku terisak, Sidoarjo dikubur lumpur, Raungan kehilangan desa Bertahun terkapar Berdesak di pengungsian Tuntas nan tertunda berkepanjangan Semua menonton, Akupun,... Sepeninggal tirani, nan ditumbangkan Reformasi mengumbar hanya dusta Derita menghajab senantiasa Harga membubung Antrian panjang

43

Sebelum kebagian tersungkur Semua menunggu, Semua diam menonton Akupun jua Seakan fitri tanpa noda, Lagu lama di arransemen, Janji baru disusun Kulihat Capres bermunculan Bergegas tak sabar menebus kekalahan Busa-busa ambisi membuih Hampa mengudara .... Sapi gemuk nan dilepas murah, berlimpah susunya, Tanker raksasa sarat muatan Jelajahi jazirah ........ Semua jadi kenangan, Mengelu hati Kucamkan Aku termangu ................................. Politisi mengumbar mimpi Swa - sembada tahun ini , Kepala Bulog di penjara, Beras tetap membubung tinggi Generasi petani terjerat ijon Kusaksikan kemiskinan, Penganggur antri kerja. Di tengah sukacita pemerintah Makro Ekonomi membengkak Inflasi, nilai tukar, terkendali

44

Tongkrongkan dana di SBI Bank pulih sehat Pertemuan Bali, lancar Di Pekan Asean kita naik peringkat Selayaknyalah gaji PNS, anggota DPR ditambah Kenaikan minyak dunia ..................,? Takkan pengaruhi harga Hanya octan yang dirobah Kudengar semua ini Dan aku diam ....................... Kubaca BI kucurkan seratus milyar Ribuan rekening pemerintah atas nama pejabat BLBI akan diinterplasi 2030, kita kan menjadi Adi kuasa Kudengar semua Dan aku lamunkan.................... Gubernur diganti Berjuta golput di Pilkada itu Tanggul rubuh, banjir meluap tol Prof. Sudiatmo menuju bandara terputus Gerbang tetap dibuka Uang masuk mengalir terus, Kendaraan terjebak di tengah Pengendara mengumpat...................... Pemberangkatan tertunda Ketibaan , terkurung di bandara Lowongan terbuka, Mendorong mogok di genangan

45

Kutatap, kutercenung Kuterdiam Pak Ogah ngibing sendiri, Mengatur totalnya macet Kaleng kosong ditadahkan Uang logam gemerincing Telah kulihat tersangka penjarah hutan Di kawal demo Yel-yel riuh diteriakkan, Spanduk dibentang Kelompok pengacara mendampinginya Kala palu mengetok bebas, Pengunjung berteriak histeris Bukit gundul.................. Arus menyeret desa, menerjang tebing Melenggang menghilang Aku hanya terkesima Kubaca berita, Untuk kesekian kali Aku diam... Pejabat MY ........................ Kepergok menerima komisi tanah Seluruh negeri terperangah Sapu serta lantai sama saja kotornya Episod cepat basi, tak mendongkrak oplah Aku membisu, mau apa lagi ?

46

Teroris bermodal nekat, Berang politisi hanya pesona Kulihat jutaan anak putus sekolah Manusia ditolak berobat, Ditanya biaya Adhi kuasa lupa diri Kusaksikan itu semua Kudengar Lalu aku diam Seluruh struktur sudah disekat Aku tidak lagi memilih
17/12/2007 SBI : Sertifikat Bank Indonesia

27 Purnama masih menyala Bayangan hutan di kaki bukit Langit bersih membentang samar Nusantara sayangku... Tidurlah pulas, Izinkan kucium pipimu Kutahu kau lelah, Istirahatlah Besok interplasi di ajukan, Yang lalu di makan silam Corong partai berlaga dusta Demopun di balas demo Macat total
47

Barisan motor melaron Tersendat bus-way, Mobil pribadi mencuri jalur Pengemudi saling mencarut Sayangku, pratiwi bundaku satu-satunya Pejamkanlah mata, selagi fajar belum tiba Simpan tenaga .... Aku mau kau kuat Besok harga kan membubung Janganlah selalu NRIMO Keterpurukan, kan semakin menjurang Telah kusaksikan di TV Berangkulan puterinya, ibu bakar diri Duniaku gerhana seketika Ya Allah, di mana Kau .... ? Masihkan tersisa kasihmu ? Mana yang mengayomi, kenapa lupa sumpah ? ! Tuhan balik bertanya Kala itu presiden sibuk, Menggelar pesona barunya Sejak kapan pula, lapar di redam lagu ?

/12/2007

48

ANTREAN
Sebuah Elegi

I Di tahun-tahun Proklamasi Negeri, dikancah Perang Kemerdekaan Bambu runcing ditangan Handuk Good Morning, melilit kepala Teriakan Merdeka atau mati, dikumandangkan Latihan berbaris tanpa sepatu sebelum dikuasai musuh, gudang, kilang,jembatan, Bandung kita bakar semua, Tak ada yang mengeluh, tekad kita sama II. Di rezim Sukarno Kita ganyang imperialis, Inggris, Amerika, anteknya Malaysia Resiman Mahasiswa UI, Latihan perang, di lapangan Banteng Berlari, kakias

49

musuh kiri, musuh kanan Serang kiri, serang kanan Ganyang Tengku, ganyang Malaysia, Yel-yel diteriakkan, gadis-gadis dikaki lima siswi Santa Ursula pulang sekolah tak pernah luput dari serangan kami Alangkah cerianya masa mahasiswa Tak pernah susah, tak kenal derita Seluruh negeri miskin, inflasi melangit, ekonomi terlantar, Setiap kali rakyat mengeluh, Bung Karno kasih pidato, Beras kosong, impor bulgur Toko sandang pangan menjamur Di setiap pelosok kota Barang-barang kebutuhan pokok langka, bagi kupon rakyat antre di kawal O.K.D. karaben tua, kopel rim melilit pinggang melanggar, popor saja Mayat tak dikenal bergelimpangan dikuburkan tanpa upacara Ampera, ampera, seru Bung Karno, Tari Lenso gemulai nian, Ujung selendang dijepit di jari tangan Genjer-genjer sayup-sayup Negeri sorga ini, teduh di permukaan

50

KAMI, KAPPI, gelombang demi gelombang, berarak menuju istana CAKRABIRAWA penuh siaga manakala para Jenderal diculik diseret, berdarah-darah dijejali, disumur tua, Lubang Buaya Rakyat lupa kebutuhannya seketika, yang ada hanya marah Sukarno Presiden diganyang sebagai Proklamator tetap dikenang. III. Bak jago habis bulu Kena taji, dimana saja, pasti berdarah. Suharto, Supersemar Dicabutinya, akar pohon rindang itu terencana Tak dipenjarakannya, tak pula bebas Tak divonis, mati sendiri. Teknokrat ditunjuk Menteri membenahi keterpurukan ekonomi Inflasi ditekan, nilai tukar terkendali Trilogi Pembangunan strategi, REPELITA jadi PELITA antrean berangsur hilang Pembangunan beranjak meningkat, korupsi juga Kelas berat versi dunia.

51

Teknokrat bukan profesional lagi, merobah diri jadi politisi Berkelompok, tanpa tanda gambar, tanpa kantor, Bertengger, ditengkuk partai yang kuasa Dukung Suharto, apa maunya Keluarga Cendana, blong remnya KKN sudah terbuka di atas meja Suharto Bapak Pembangunan, Suharto Koruptor Agung Tepuk tangan riuh, Acungkan dua jempol, Terpuruk lagi, Negeri dalam musibah Tirani lama, tirani baru, sama saja perangainya Kebutuhan pokok langka Inflasi menanjak , nilai tukar tak terkendali Rakyat miskin bertambah Antrian semakin panjang Kelompok miskin menjerit, sabar, NRIMO Mahasiswa, masyarakat, turun kejalan, Pagar DPR mereka dobrak, mereka jebol Suharto buru-buru lengser, tapi legowo katanya Ia mau jadi Pendito saja Rakyat sudah tak percaya

52

IV. Era sepasang mata bola dimulai, Teknologi, resep cespleng untuk semua masalah Apa saja, dari ekonomi sampai sampah, Kita terbang abaikan pertanian Gatotkaca kehilangan sayap Thailand ajak barter ketan Betapapun pesawat kepresidenan tak diproduksi disini Ludes pundi dihisapnya Tidak kesampaian, bel sudah dipalu, Musyawarah berfikir, kalau ditambah waktu, akan semakin keliru Antrian rakyat miskin semakin panjang Sisa-sisa tong sampah tak memadai Lampu teplok, api unggun, masih seperti abad lalu, prasarana hanya wacana Rakyat masih saja NRIMO, Ditengah kebebasan pers Laksana burung layang-layang, kembali kegua dikala sore bergegas menghindar jauh keseberang khatulistiwa Tanpa memoir, Roman picisan dilayar lebar.

53

V. Kabinet dan birokrasi segera dirobah Tertatih-tatih, Gus Dur kunjungi banyak negeri Asean, Amerika, tentu Timur Tengah Rakyat miskin tetap berharap Semoga mangkok nasinya penuh bertambah Jadwal puasa mereka terlalu lama Usus menciut, cacing lama koma Waktu berbuka belum tiba jua Ingin dibatal, dengan apa Lilitan lapar sangat perih Tirakat membimbing mereka, sabar, NRIMO kepedihan ini. Negeri permai, rakyatnya terkenal ramah, dimata wisatawan Nyaman tapi tidak cukup aman, Kenapa negeri seterpuruk ini kepentingan kita masih beda, belum tulus VI. Srikandi PDIP, bunda Wong Cilik Bola matanya basah Membaca pengukuhan, didepan musyawarah. Menjelang tidur,

54

Dilantai keramik perkuburan cina Senyum bahagia, wong cilik pejamkan mata dingin turun mimpi kasih ibu menyelimuti, secangkir kopi dikala pagi. Berapa purnama sudah melintas Kemarau berganti penghujan Dada telanjang, tetap terbuka Pagi terbangun, aroma warung kopi diseberang kali. Laksana pertapa, wajah bercendawan, rambut berlumut Mangkok kosong erat ditangan Rakyat miskin bertambah VII. Pemilihan langsung dilaksanakan Silahkan pilih, siapa kau suka Kere, pengemis, pemulung, geladangan, Laksana Gypsy berpindah-pindah Masa kampanye mereka nikmati Dangdut ria, artis ibukota, Obral kaos, uang rokok, nasi bungkus, truk ke alun-alun Lupakan antri, semua tersedia, masa jedah tiba mereka berkeliaran.

55

SBY - YK harapan tertumpu Jenderal tampan, rambut klimis tanpa kumis Bersanding pengusaha kaya berkumis tipis Menjelang tidur tadahkan telapak tangan, Demikian khusuknya, Terbayang wajah Tuhan, mengintip di balik embun.

Di proklamasi tak memanjat pinang lagi Kehidupan kian menghimpit Antrean semakin panjang Demi beberapa liter operasi pasar Pertamina Sedari pagi, hingga sore, belum tentu kebagian Jaman Sukarno rakyat susah dikompresnya dengan pidato SBY jejali wacana Lelap bermimpi Akhirnya pasrah

Sujud syukur, sebelum tidur merasa lebih beruntung Dari Saudara-saudara di Aceh, digulung tsunami Di Yogya, direbus lahar Merapi Di Poso, gadis tak berdosa dibunuh, pulang sekolah Kalimantan dan Sumatera, asap gambut kotori udara. Semburan lumpur gas genangi Sidoarjo Hanya Tuhan maha tahu, kapan terhentinya

56

VIII Bush datang, Bush Pergi Heliped dibangun, dipakaipun tidak Selamat jalan sampai ketemu Hanya itu hingga kini. SBY bergegas ke Jepang, Diterima Kaisar dan Permaisuri Di beri Doktor Komunikasi Ketemu Pengusaha para pejabat Janji lama belum dipenuhi Rusia Timur Tengah lain lagi, Lumpur masih menyembur di Sidoarjo Jerijen antri minyak tanah, diikat tali Semakin panjang jua, Nias hingga Gondangdia Flu burung demam berdarah, Dan seterusnya, Negeri kaya yang permai ini, mubazir, terbelakang Kita tak mensyukuri, nikmat anugerahNya Dalam kerja kita terpecah tak satu masih beda

57

Ada baiknya, depan cermin hati Akui secara jujur KITA HARUS BERUBAH Jangan mengemis HARGA DIRI BERMARTABAT kita mulai sesuatu Dengan kekuatan sendiri PASTILAH KITA BISA, kalau kita mau Mari kita mulai, SEMOGA
OKD AMPERA BPS : Organisasi Keamanan Desa : Amanat Penderitaan Rakyat : Biro Pusat Statistik

58

BALADA YUNTA
Untuk : Aug Sun Su Kyi

1 Di keterhunusan sangkur, Di tangan mereka yang terlatih, Meluluh lantakkan, Menginjak rambu-rambu Menodong demokrasi Di Chiang Rai, pengecam disekap di balik jeruji Pemenang pemilu Myanmar dikerangkeng Menua di halaman rumahnya Membidik langit, sepasang merpati meliuk Roh mereka menyatu disana Melanglang, berkelana Ekstasi kebebasan Tak ada seasyik itu Telah dipasang portal jalanan, Mereka redam kebebasan Tak lagi ada adil Tradisi otoriter melarang protes Di tengah keadaan darurat Plebisit dipaksakan Keadaan bertambah sulit Mana mereka peduli Kuasa sudah di tangan Tak kan dilepas
59

Janji-janji sejahtera Wacana-wacana memukau Yunta memenangkan semua, Kehilangan nurani negeri Sepenggal sisa, kebebasan terakhir Lah pula dikunyahnya lumat, Darah segar pun meleleh Dari celah taringnya Tak kenal puas Hingga digantung di alun-alun Diludahi palak kerumunan Kan kuselipkan penaku Kemanapun , ku berkelana Kupuja kemolekan Kuhirup harum aroma Kugoreskan tajam sangkur puisi Kehulu jantung kebiadaban
Jakarta, 14/7/2007

2 Telanjang kaki mereka berbaris Di bawah guyuran hujan siang itu Tertib tanpa suara Bertahun hati galau Pendam bara kecewanya marah, Diinjak diperkosa Yunta terlatih bersenjata
60

Penikmat pajak anak negeri Lambungkan harga mencekik Biksu-biksuni, Entiti rakyat tertindas Tanpa senjata, hanya doa, Nurani negeri berontak, Penderitaan berkelanjutan Merajalelanya korupsi. Pilihan rakyat dikerangkeng Kebebasan diinjak bot tentara Nero menjelma Bengis, brutal , biadab Mungil berbalut jingga Memberi salam Tangan melambai, mata berkaca Membobol bendungan rindu Pratiwi Myanmar meradang Yangon, Mandalay Tertib pawai di jalan-jalan kota Tanpa makian, tanpa pengrusakan Yunta terperangah, berdilema Sanksi apa lagi kan diberi ? Dunia tersentak Politisi beradu pekikkan demokrasi Warga menuntut Di mana adil sejahtera ?
JKT 25/9/2007

61

3 Mereka yang tersungkur hari itu, Telah pun tiba di Nirwana Pagoda Sule dibanjiri, pawai ahimsa damai Rangoon lautan manusia , plosok kota mengalir, Menolak bubarkan diri, Hadapi semburan gas, terjangan peluru Bersimbah darah terkapar Tanpa nurani , men - dor warga sendiri Menabrak gerbang biara Sarang pro demokrasi Ratusan biksu diamankan Ancaman bubar atau mati diabaikan Mereka tuntut kebebasan
28/9/2007

4 Pawai bergandengan tangan, Tekad bulat, pasrah apapun tiba Ahimsa damai disambut peluru Kepongahan, ego tersinggung Yunta mabok kuasa, Dada , pundak, bertebar lencana Senjata terkokang di tangan, Tirani seumur hidup Tatanan demokrasi runyam dibabatnya

62

Ribuan nyawa di libas Burma menangis, isak melangit Di atas pembantaian ini, Budaya apa dibangun ? Tenang damai di mana ? Sejahtera apa di tuju ? Mandalay kota asmara, Pun berarak berduka, Lampiaskan kecewa belum bertepi.
29/9/2007

5 Pratiwi Burma disekap Pembantaian dekade lalu.......... Bisu bermisteri , danau Inya bersaksi Di saatnya sejarah kan mengumbar Sebendrang siang Di altarnya terbuka Suara jangkrik , terlarut sunyi Biksu-biksuni dikandangkan Massa warga , tegar berbaris, Kucar-karir di desing peluru. Detak jantung di kerisauan , Truk patroli memecah sepi Jam malam Kota mati mencekam Myanmar di keheningan Menanti apa kan tiba
30/9/2007

63

6 Biara pagoda diborgol , Pawai gelap di pinggiran Myanmar dibungkam, Laras senjata menohok kening Bumi Tuhan nan permai ini, Nero, Musolini, Hitler, Soeharto, Pinochet Berkeliaran lahir kembali Ahimsa tertib damai , ditumpas berdarah-darah , Kobaran nikmat kemegahan kuasa Pesan Sidharta dilalap nafsu Yunta lupa karma
1/10/2007

7 Naypyidaw bungker kekuasaan, Menutup pintunya rapat Yunta butakan mata hati Kemarahan dunia , manalah mereka peduli berondong bubar pawai Kala biksu-biksuni membaca doa Meneriakkan yel-yel kebebasan Dihadapkan pasukan lengkap terlatih Adhi kuasa amankan kepentingannya Lokasi strategis, kaya energi Siapa rela melepasnya, Penekanan sejauh pernyataan, Embargo setengah hati Diplomasi hipokrasi
64

Irrawaddy nan pengasih, Memeluk belantara hutan Delta muara teluk Benggali Mesra damai berabad mengalir Terusik binalnya nafsu
2/10/2007

8 Teriakan dunia di mana-mana Ibrahim Gambari *), menunggu Depan pintu, bunker Naypyidaw Tak diacuh Jalanan sepi, Rakyat mengunci rumah Di mana kebebasan ?
2/10/2007 *)Utusan sekjend PBB

9 Delta nan pengasih, Kulirih kau dalam senandung, Rintih sendu berkepanjangan Disalak deru raung terpaan Tak lagi peka bermarwah, Irawady yang ramah, menggelegak diterpa puyuh Topan badai teluk Benggala, melibas, membalun, mengembat Myanmar Nayapidaw terperanjat, mengigil memeluk tahtanya

65

Mari tafakkur, ratusan ribu lah membusuk Jutaan kehilangan sarang, Kuyup dilebat hujan Terkurung di delta-delta Siklon meraung bersama renyai Terkapar, terengah Lelah menunggu kematian Membusuk di dasar lumpur Irrawady keruh beriak, deras, menyeret Lintasi teluk, menyapa samudera, Teriakan pertolongan ke seberang Awan berat bergantung Siklon bertandang Khatamlah, ratap derita ini Referendum di tengah bencana ... Nayapidiaw apa yang kau buru ? Diterpa Siklon Pamor kuasa pudar Kasih Irrawady mengalir tak kenal musim .... Tuhan, Tunjuki sinyal pemantau Hingga mengerti mau-Mu Bila bagan takdir dipetakan , Lalu apa peran kami ?
Mei 2008

66

10 Rekonsiliasi apa kan dicapai ???? Rumah sakit penjara melimpah bungkam , bermisteri Tutup rapat segala Dunia meraba gelap Sudah berapa ? Nay Pyi daw penuh arca Piramida raja - raja Perkuburan para Yunta Menanti..
4/10/2007

11 Unu, Aung San, Bapak kemerdekaan Ne Win, berreinkarnasi di Nay pyi daw Berondong warga, biksu pendeta mencabik-cabik diri sendiri
4/10/2007
Jendral Ne Win : Penguasa Yunta di masa lalu

67

12
Untuk :Tn. Ibrahim Gambari utusan PBB

Laron menabrakkan kepalanya Patahan sayap bertebaran Dunia ragu, memelas dada Pusar cahaya tegang meninggi , hangat memijar, Masih diserudukkannya jua Senyum kematian, bermisteri Nirwana open house hari itu
13/11/2007

68

PERENUNGAN DIUJUNG MUSIM I 1

Dekade lalu melintas sudah telahpun dipecundangi musim. Terlantar digumuli, Kadaluwarsa .... Bosan pun aku mengungkapnya Hadapi hari ini, tantang pergantian esok Mana detik tanpa berobah, Gelombang tak berdesir, Dogma dicurigai dipertanyakan Penuh ketidak pastian, Kebimbangan ... Kala penguasa memutus semua, Dimana tanggung jawab kita ? Tatanan moral berkehendak kebebasan, Reformasi padukan perbedaan, bangkang kebatilan Ephoria mari sudahi. Pagar terjungkal, Cecer darah nan terkapar. Terima duit pilih lainnya,

69

kalkulasi politis rusak dibuatnya Rekening hantu buka Kepongahan lama digerogoti usang Rapuh didulang muak ... Tidakkah kau rasakan, pengap megap frustasi merintihi kesemerawutan ini. Dendang kemiskinan nan melata..... rindukan makna penuh arti, bangga puja bagi negeri, tak bingar ... Kidung jangkrik terdengar, Belantara perawan, bumi Tuhan dalam harmoni, semua seimbang tak hampa Keterpurukan ini ... kehilangan serasi, aura dan irama Ulah kejahilan kita. Dipantak tiran waktu, wajah bumi berobah, kita terperangkap dalamnya Planet baru bermunculan, Nikmatilah hari ini, Putar gerakkan kuasai Jangan tunggu esok, nan tak pasti Tidakkah kau dengar,
70

nusantara meringis. Tiran waktu lanjut berlalu Pertengkaran tersulut tak jua reda, Gendrang ego bersilang ego. Kepongahan penuh prasangka Demi ilusi ,,, Ego nan menggunung, kan runtuh didera bosan. busa ambisi kan meleleh hilang waktu celotehkan lalu, butakan masa depan. Ditelan tiran waktu, pemimpi tenggelam. Kekinian....... Bermula detik ini Secerah harapan rasuki musim, retorika kosong tertimbun janji, pudar harapan, erang kelaparan disayup malam, Pengkultusan mencair terkungkup gerah terlalu lama. Telah kulihat mega meredup. Fajar baru mengintip, mantul celah resapi lembah. Silahkan perobahan, merambah negeri Segar baru menerjang megap retorika silam terkurung mimpi
71

Gelar layar......... Pastikan arah mari berpacu Gejolak dipadu siklus Tak ombak urung memecah Segalanya butuh seketika. Dunia kan benahi krisis sendiri Bangsa nan besar ini, Hadapi terpaan, jangan ragu Di kesemerawutan mengapung Berseluncur digelembung gelombang Jaga keseimbang, Mari bertahan. Musim pancaroba kan mereda, angin selatan dari belakang, waktunya layar dikembang Arahkan kemudi, mari melaju, rantau lewati. Krisis energi, manalah layak dunia dilandanya. Bumi nan pengasih ini berkecukupan, Tundra Artic, Payau Siberia, Nigeria, Timur Tengah, Amerika Endapan melimpah, semburan liar gas di mana-mana. Egolah, menghajab diri sendiri.........

72

2 Sobat, Negeri HAM, menghisap mengexploitasi Langgar asasi, berabad disini Telah kulihat kilauan samurai, Menyurukkanku kearah terbit matahari Beribu pencita kemerdekaan di Digulkan, Konflik daganglah membom Horoshima, Nagasaki Harimau menerkam kucing, Kucing mengintai tikus Manusialah terbuas... Tuhan yang di sorga, Beginilah kami . Ku usap nurani di dada Moral nan tercemar, kebenaran hanya dikontemplasi, Dialam nyata, adil dipertanyakan, Korupsi dikalkulasi, moral diam menafikan Membudaya......... Tatkala rindu merenggang, kusadar apa kan hilang, Kuteriakkan puisi, sadarkan perasaan, Dalam kesetaraan, mesranya berangkulan, Bujur lintang mencair,
73

Barat-Timur, Utara-Selatan, larut dalam rindu. Kemerdekaan memadu kita ? (Pusat Daerah telah pun bersimbah darah) Semuanya menyatu, Di kulum tulus ... ! Bangsa nan besar ini Setiap beriak bergelombang Gampang terbakar, mudah padam Demo tak mengenal orde. Penguasa diangkat ditumbangkan di puja, dicaci, .... Kala musimnya matang, Order mana, tak melanggar janjinya ? Prabumulih , prabu menang Hikayat penakluk zaman beheula Beban sejarah, diternak budaya Menghantui sepanjang perjalanan Sobat, Telah punah kerajaan, ditangan Kongsi Dagang, Supremasi suku dibiakkan, dilaga di permalukan Bunuh raja , nikahi jandanya Lamaran letuskan perang Legenda disejarahkan Semua putera titisan langit. Putri kayangan mandi di bumi
74

Kesombongan kosong Dikidung didendangkan, Sepanjang musim, hingga kini Masihkah kau percaya ? Jalan melintang pulau, Dibangun bermodal cemeti, Kuli kontrak, pekerja rodi Tuanku kan berontak Manakala tanah digusur Monopoli dagang diganggu Patek nan tercapit dicelah tubuh, nodai darah seusia. Romusha terkapar di gerbong lapuk, Kere di emper stasiun Bagero kempetai ... Ucapkan selamat jalan, Bunker diterjal karang, Sejauh Andaman, Nikobar Segenggam pampasan , membungkuk maaf Mana kan kulupa semua itu... Derita yang berabad, cetuskan ikatan kebersamaan. Tekad lepas dari belenggu, jutaan berkorban demi kemerdekaan Semua menuju gerbang yang sama, Berbeda paham berbeda cara menuju satu tuju.
75

Tekad membara, bambu penyangga bendera, Simbol tersemat, Sukarno Hatta pampangi dada. Kami pandu pratiwi negeri, berbaris tanpa sepatu Megapnya harap padati pori, dari pulau ke pulau lambai nyiur, menuju sejahtera Berapa jauh lagikah ? Terasa dekat saat kan tiba Dibalut asap pertikaian, Nyala pemberontakan, Semua lambang diusung Dipertentangkan ... Disulut perebutan kuasa, perimbangan keuangan Gontok-gontokan Punah usia dilalap kebingungan
Bapak Proklamator, Paduka yang mulia Presiden, Kami ini umpama beo, Lemas, manggutkan kepala Orasimu nan membakar, Tak lagi mengganjal lapar. Revolusi bila selesai ? Musuh mana lagi ? Imperialis kapitalis Sudah kita linggis Ampun patik tuanku,
76

Semoga Baginda berkenan, Ajak kami menanam padi ... Apa yang kita lenggangkan ? Renggang kekeringan, belum padu Fuso kemarau Berkepanjangan............ Bak rajawali menyambar semua, (senyum sopan, sorotan tajam) Semua berondok dibawah tanah, Terkubur tak beriak, Tak lagi menciut berkeliaran Izin kebebasan dicabut, Cekoki indoktrinasi. Normatif janji, pudar dalam nyata ... Pembodohan ini beruntun Generasi dilalapnya punah Keterbelakangan berkepanjangan 3 Kala kehendak dicegat, lupakan, kebebasan Naluri moral minta tanggung jawab, Bukan pencelotehan, pengamalan nyata. Tak kilas pesona, biarkan persepsi berbeda, demokrasi sejalan pendidikan,

Bangsa nan cerdas ini, tak pun sulit diajak kritis


77

Metamorposis terjadi, nampang di media cetak, selebiriti di kaca TV. Memang hak mereka, terserah kau memilih Biarlah kekerdilan, bergantungan di baliho jalanan Pilar demokrasi nikmati ... Ayo mencoblos , lupakan kecewa Bercak lalu belum bersih, Janji lama masih bergantungan, Belum pun menyentuh HAM, Impunitas tanpa hukum Kredibilitas bangsa dipertanyakan, Garuda tak lagi hinggapi Eropa Dipemilu esok, apa lagi akan diusung ? Puluhan partai, menggelar pawai, Paparkan visi, bila semua sama ? Itu itu jua ? Berat ku memilih pesona ! Pembodohan bertahun, setiap berbeda diberondong Negeri dihantui musuh revolusi Mistik setan merajalela Manggut tertunduk,

dicekoki indoktrinasi Berapa Tirani telah dipertuan ? Apakah negeri sudah merdeka ?
78

Kekerdilan merambat , cukong media panenan Bukan ku menulis risalah, pledoi pembelaan....... kutantang, sedari dulu ? Dilansia ini , kulantun puisi diakhir musim, Berbait-bait ......... Pelampiasan, galau kasih nan tersisa, Kukunjungi, kampus ke kampus Kukunyah pustaka, Kupantau perobahan, Kutekuni sejarah peradaban Kumerenung berkontempilasi Kugoreskan penaku, Mumpung tersedia waktu. (berapa lama lagi, bukan urusanku) Mimpi-mimpi yang tersisa, Visi kupendam, mengenai apa saja, Apa kau baca, Aku tak hirau lagi ! Pikiran perenungan , aku raja kerajaan itu Tak seorang sanggup menguasainya.

79

4 Sinis tak jelas nilainya, Ego adalah laut nan tak bertepi, menerpa kekurangan pangan, Kesempatan bertani buka, perluasan lahan Pulau seberang mununggu Rambah rambas, cetak baru, Petani kan bertambah Jadikan negeri agraris ini Sorga mereka .... Dikelangkaan, terancam lapar Persediaan penentukan harga, Bukan biaya produksi Pasar tak bertenaga menghadapinya Pemerintah mematok ...... Diluar mekanisme pasar, Subsidi membludak APBN dipangkaknya... Pemerintah semata bukan dewa penyelamat Marxis buka pasar bebas Tarik tambang tak lagi ketat Semua campur, gampang berubah Yang pasti hanya kepentingan Otokrasi bebas, muncul Idealisme faham, normatif jelas, Uang dan harga diatur pasar

80

Kemana negeri kan mengarah Dunia senantiasa berobah, Kenapa kita tidak ? Mengubah alam bawah sadar, penghayatan tuntut panutan, Mengejar rating pembunuh berantai, terperinci ditayang TV Pencekokan sadisme, seluruh nusantara , Tak berbatas umur, berhari-hari Mengkonteminasi nilai laku Penjagalan hal biasa, Kenapa harus disesali Hukum tak merobah jera, Dipagi subuh nan ramah, ronda menjagal, seluruh rumah Sadarkah apa nan kalian biakkan .........?! Telahpun berbuah.. !!! Berseluncuran di gelombang Cermati arus ... Tak apa seratus CAPRES Usung umbul-umbul , nampang di media Pakai nalarmu, Tanya apa maunya ? Masih kuhapal janji lalu, Pula tanda gambarnya. Kutahan geliku ...

81

Pantai samar, Terpaan badai terasa .... Budaya politik menggalang gelombang Bung, Pancang kemudi tahan erat, Telah kuhirup aroma baru, kemana camar berselancar. Lambaian nyiur mengitar teluk Darah segarku menggelora nadi. Lurus kesana, Ke utara , ke utara...... Kelaparan .... Menyeret perawan desa, huni rumah bordil. Pekerja anak di mana-mana, Ibu rela melepas bayinya, TKI dihina disakiti, Roh mereka telahpun redup, Mata kosong kehilangan marwah Tak lagi berazasi Bukan derita kutangisi, pembodohan itulah utamanya Berkali kutanya.. Apa yang berobah ... ? Dualisme turun temurun ... Golongan menengah rohnya demokrasi, kolaborasi apa, mereka perankan ?

82

Bung Rakyat bukannya komoditi, tapi kehidupan !!! APBN yang kau dewakan, tak pun dikenal, saat tekad merdekakan negeri Tetes terakhir, telahpun diteguk bersama muak, Betapa sulit tinggalkan silam, nyala meredup disulut kembali Enggan berobah pasti terkikis. 2009 sambut !!!! Sapa salami, Teriakkan yel-yel demokrasi Muda-tua, baru-lama Mari bermunculan ... Gerbang terbuka ....... Masa lalu telah pun dipunah silam Sobat, siapa bersih noda ? Kutanya kau ?
7 8 - 2008

II Tuhan .. Bagaimana kan kucurahkan, Pengaduan nan tak ditangani, Kejahatan nan tak diungkap Kemaslahatan tak berbudaya, didiamkan tak pun disapa, hilang bermisteri ....

83

Torehan di lebar daur, telah pun direnggut badai, membubung tak lagi terbaca Kala tali mesra putus, peradaban apa yang dianut ? Keris terhunus tancapi diri sendiri Sia-sia mimpikan esok, bila punah hari ini. Tersedu, kubergumam sendiri Jahiliyah apa ini ? Alangkah sia-sianya, Ibrahim musnahkan berhala, Musa membelah samudera, Isa di salib, Muhammad hijrah terusir Gautama bertapa .... Tuhanku, Ragu aku bertanya, Bisakah berujung rukun ? Galau nan merasuk dendam, menguak jendela langitmu Kala kebencian ledakkan pusat keramaian tak lagi memilah memilih, Semua rata dilumat kemarahan, Tuhan, Tak akan kusesali Kau bila seketika kiamat tiba, Itu bukan rencana-Mu sepenuhnya ulah kami

84

Di keheningan pekatnya malam, Kudengar ringkik hutan kedinginan, Gemercik air di batu-batu Lolong anjing kesepian, Kusapa kunang-kunang nan berkelana, Kurasakan hangat kungkum mesra-Mu, Kutulis, kututurkan semua, Walau puisi tak lagi dibaca
April 2008.

III
Untuk : H. Rosihan Anwar

Apa yang kan kupikirkan Kala aku setua mu, Kemasgulan masa lalu Terlupakan begitu saja Kulintasi rute pagiku Kuangkat tabik bagi semua Tak perduli, tak pula tanya Apakah aku mengenal mereka. Biarkan anak-anak melaju, Memotong lintasan, Kentut bajaj, angkot kota Cuek saja, Kutekan ego, kujaga tensi Kan kukubur sindrom Kutulis puisi Pertinggal sepanjang sejarah Bagi mereka yang mau mengerti

85

Kutahu malam teringsut-ingsut Kian melamban Serta siang panjang kutub pun tiba Ku senantiasa lasak berkelana, Setiap kali hati bergetar Ku catat apa saja Segala yang mengusik..... Kucamkan , serta kurenungkan Hidup mengalir sepi keprokan Bahagia dilahirnya puisi. Dalam zuhudku Puisi adalah dzikir Sarana puja sarana doa Tiktak ketikan , lintasi halaman, lintasi selokan Menyeberang kejalan Sepenggal ulasan ditunggu Pengantar melemparkannya , di depan pintu Cek & Ricek pas photomu terpampang Kiri di atas kolom Kaulah kolomnis itu , diseniorkan tanpa SK Apa yang akan kulakukan, Bila kucapai usiamu, Di atas kerja, di atas risau, di atas harap dalam doa, Diatas semua itu, bukan aku mengaturnya Kala cucuku , mengajak pergi, Kugeser tubuh tambunku , kuterima tantangan itu Selalu kusemangat melakonkannya Ada bahagia di sana

86

Bye Ompung, bye .... Teriakan bergegas berangkat sekolah Di pucuk nangka belakang rumah Cicak rowo bersahutan riuh Ros memerah sedang mekarnya Udara pagi terasa segar Kutatap langit terang membiru Garis lintasan asap pesawat Parau klakson di kejauhan Polusi udara, gemuruh kota Kusambut seadanya, Kala saat Tuhan memanggil Kan kujelaskan semua Serahkan puisi apa adanya
29/7/2007

IV Biarlah terlantar Sepenuh pencitraan, kuselesaikan putaran ini Betapapun Apa peduliku nan terbengkalai Kan kucuci tanganku, Kuhindari terang Kupajang samar Kusapa ragu Aku siluman tak terjamah Asal kuselamat Kelak tak apalah datang banjir.
87

Tak ditalangi Indover redup sendiri Century, (Demi Allah tak kusebut nama itu ) Talangan triliunan, mana kutahu Sistimatis berjamaah Dana raib Nasabah tak dibayar Otoritas lepas tangan Demokrasi dijual beli partai Miangas ke Rote Sabang Merauke Olah raga hingga agama Demi dana, Tak apalah makan sumpah Di Surga Tuhan terkekeh Menunggu Sang Kakala ditiup Arroyo Macapagal Ditahan , dilepas Dipenjara lagi Suharto, Kala komando masih ditangan Dana melimpah Partai tunggu aba-aba Disunyi jelang pergantian pagi itu Tuhan bisikkan apa ditelinganya ? Aku tak mengerti Seketika dia ingin jadi pandito saja

88

Rakyat tak lagi percaya Senjapun tenggelam perlahan Berseliur selang, mesin pacu Ambulance pamitan Dilepas kerincingan anak jalanan Tadahan pengamen Berbaris ditrattoir pagi itu 32 tahun Nan terbengkalai masih menganga Negara disandera rentenir Di 2014 nanti Nan terbengkalai kan menganga banjir !!! Politisi terseret arus Partai digusur massa
18/10/2012

V
89

Dakulah ahli satu-satunya !!! Bertahun, Luapan busa membuih hampa Melata dikemacetan, Pancang monorel. berkarat lingkari kawasan Alur tersumbat gundukkan Jabotabek dirangkul banjir Telah tiba, sepasang pendekar kampung Cairkan trilliunan obligasi Darah segar simbahi medan Dengkul bank, goyah.
Jakarta, 27 Oktober 2012

VI Mabuk modero *) Ledakkan abad silam nan damai Ranting basahpun dilalap sara **) horizontal-vertikal , menggunung bunglon berganti warna Laut kehilangan pantai ? Horizon tak kenal tepi ?

90

Poso, masih kudengar senandung gadis pantai melepas senja nan kan tidur nyanyian petani memuja pratiwi kidung disetiap peristiwa Poso, Aku bersaksi Roh Sintuwu marosa ***) Senantiasa mengelana
*) Tari tradisional sering di-ikuti mabuk-mabukan **) Isu suku, agama, ras, antar golongan ***) Nilai budaya suku Pamano, saling menghargai, menghidupi, menolong

91

VII Kala Lampung berkabung Aku di kereta kencana, penuhi undangan Ratu Jadilah aku, kesatria Britania Raya Dibulan Sumpah Pemuda ini Lampung Selatan kehilangan nusa Saling bunuh, saling bakar Maaf, aku dijamu Ratu saat ini Lampung nan terbakar Kewajiban kita semua, bukan hanya angkatan Diredam lelah Kemasygulan kan menguap sendiri Tapi untuk berapa lama .....?
Jakarta,10 11 - 2012

92

RIWAYAT PENULIS

IBRAHIM ASTAR SIREGAR, lahir di Bagan Si Api-api, tanggal 15 Maret 1939, menyelesaikan bidang pendidikan di SD Negeri V, Sibolga, SMP Negeri II, Medan, SMA Negeri III, Medan, melanjutkan ke perguruan tinggi di Fakultas Ekonomi UI Jakarta, Departement of Economics, University of Wisconsin Madison USA, Workshop on State Enterprises Harvard Business School, Harvard, MA, USA. Kini pensiunan Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta Putera-puteri lima, yang tertua puteri meninggal di Palembang dalam usia tujuh bulan Cucu-cucu sembilan, tujuh lelaki, dua perempuan menetap di Jakarta

93

Vous aimerez peut-être aussi