Vous êtes sur la page 1sur 9

MAKALAH

PERBANDINGAN ANTAR ALIRAN TENTANG IMAN DAN KUFUR

Dosen pengampuh
Yovenska L Man,MHI

Disusun Oleh
Hervan ardi (2111110039)

PRODI HUKUM KELUARGA ISLAM


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI BENGKULU
T.A 2021

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Bismillahirrahmanirrahim.

Segala puji hanya milik Allah SWT, yang mana telah memberikan rahmat dan kasih
sayang-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Sholawat
serta salam semogah tetap tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW, tak lupa keluarga-
Nya, sahabat-Nya,dan semogahlah sampai kepada kita.

Makalah dengan judul “Pembahasan tentang Perbandingan antar aliran tentang iman dan
kufur.”ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Ilmu Tauhid makalah ini berisi tentang
perbandingan antar aliran tentang iman dan kufur.

Waassalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Bengkulu,april 2020

Hervan Ardi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Agenda persoalan yang pertama-tama timbul dalam teologi Islam adalah masalah
iman dan kufur. Persoalan itu dimunculkan pertama kali oleh kaum Khawarij tatkala mencap
kafir sejumlah tokoh sahabat nabi Muhammad, yang dipandang telah berbuat dosa besar,
antara lain Ali bin Abi Thalib, Muawiyyah bin Abi Sofyan, Abu Musa Al Asy’ari, Amr bin
al-Ash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, dan Aisyah istri Rasulullah. Masalah ini
lalu dikembangkan oleh Khawarij dengan tesis utamanya bahwa setiap pelaku dosa besar
adalah kafir.
Pernyataan teologis itu selanjutnya bergulir menjadi bahan perbincangan dalam setiap
diskursus aliran-aliran teologi Islam yang tumbuh kemudian termasuk aliran Murji’ah,
Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.
Menurut hasan Hanafi, ada empat istilah kunci yang biasanya dipergunakan oleh para
teolog muslim dalam membicarakan konsep iman, yaitu:
a.       Marifah bil aql (mengetahui dengan akal)
b.      Amal, perbuatan baik atau patuh
c.       Iqrar, pengakuan secara lisan
d.      Tashdiq, membenarkan dengan hati.

1.2 Rumusan Masalah


1.      Iman dan Kufur menurut Khawarij
2.      Iman dan Kufur Menurut Murji’ah
3.      Iman dan Kufur Menurut Mu’tazilah
4.      Iman dan kufur Menurut Asy’ariyah
5.      Iman dan Kufur Menurut Maturidiyah
6.      Analisis dan Kesimpulan
1.3 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini untuk mengetahui konsep iman dan kufur menurut
aliran Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah, dan mengetahui analisis dan
kesimpulan dari semua aliran teologi.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Iman dan Kufur Menurut Aliran Khawarij
            Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah,
mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala
perbuatan yang berbau religious, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian
dari keimanan (al-‘amal juz’un minal iman). Menurut Khawarij, orang yang tidak
mengerjakan shalat, puasa, zakat dan lain-lainnya maka orang itu kafir.
            Tegasnya orang mu’min yang berbuat dosa, baik besar maupun kecil, maka orang itu
kafir, wajib diperangi dan dibunuh, boleh dirampas hartanya. Pengikut Khawarij berpegang
pada semboyan laa hukma illa lillaah asas bagi mereka dalam mengukur apakah seseorang
masih mu’min atau sudah kafir, karena tidak sesuai dengan hukum yang ditetapkan Allah.
Aliran Khawarij terbagi menjadi 3 subsekte, pertama, subsekte Nadjat yang memberikan
predikat musyrik kepada umat Islam yang berkesinambungan mengerjakan dosa kecil, tetapi
yang melakukan dosa besar dengan tidak berkesinambungan tidak dianggap musyrik
melainkan kafir. Kedua, sebsekte ekstrim, yaitu golongan azariqoh, mereka memberikan
predikat musyrik kepada siapa yang tidak mau bergabung kedalam barisan mereka, sedang
orang yang melakukan dosa besar dipandang kafir millah. Ketiga, subsekte moderat, yaitu
golongan ibadiyah mempunyai pandangan setiap pelaku dosa besar tetap sebagai muwwahid
(yang mengesakan Tuhan), tetapi ia disebut kafir nikmat.
2.2 Iman dan Kufur Menurut Murji’ah
            Aliran Murji’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin.
Adapun soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaianya di hari kiamat. Mereka
berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir
karena melakukan dosa besar.
Berdasarkan pandangan mereka tentang iman, Abu Hasan Al-Asy’ari mengklasifikasikan
aliran teologi murji’ah menjadi 12 sebsekte yaitu: al-Jahmiyyah, Ash_Shalihiyyah, Al-
Yunusiah, Asy-Syimiriya, As-Saubaniyah, An-Najjariyah, Al-Kaelaniyah Ibn Syabib dan
pengikutnya, Abu Hanifah dan pengikutnya At-Tumaniyah, Al-Masiriyah dan Al-Karimah.
Sementara itu, Harun Nasution dan Abu Zahdah membedakan Murji’ah menjadi 2 kelompok
utama, yaitu Murji’ah moderat (murji’ah sunnah) dan Murji’ah ekstrim (murjia’ah bid’ah).
            Untuk memilah mana sebsekte yang yang ekstrim atau moderat, Harun Nasution
menyebutkan bahwa subskte Murji’ah yang ekstrim adalah mereka yang berpandangan
bahwa keimanan terletak dalam kalbu. Adapun ucapan dan perbuatan tidak selamanya
menggambarkan apa yang ada didalam kalbu. Oleh karena itu, segala ucapan dan perbuatan
seseorang menyimpang dari kaidah agama tidak bearti menggeser atau merusak
keimanannya, bahkan keimanannya masih sempurna dalam pandangan Tuhan.
            Di antara kalangan Murji’ah yang berpendapat senada adalah subsekte Al-Jahmiyah,
As-Salihiyah, dan Al-Yunusiah. Mereka berpendapat bahwa iman adalah tashdiq secara
kalbu saja, atau ma’rifah (mengetahui) Allah dengan kalbu, baik dalam ucapan maupun
tindakan.
            Sementara yang dimaksud Murji’ah moderat ialah mereka yang berpendapat bahwa
pelaku dosa besartidaklah kafir. Meskipun disiksa di neraka, ia tidak kekal didalamnya,
bergantung pada dosa yang dilakukannya. Kendatipun demikian, masih terbuka kemungkinan
bahwa Tuhan akan mengampuni dosanya sehingga bebas dari siksaan neraka. Ciri khas
mereka lainya adalah dimasukannya iqrar sebagai sebagian penting dari iman, di
samping tashdiq (ma’rifah).
            Diantara subsekte Murji’ah yang dimasukkan Harun Nasution dan Ahmad Amin
dalam kategori ini adalah Abu Hanifah dan pengikutnya. Pertimbangannya, pendapat Abu
Hanifah tentang pelaku dosa besar dan konsep iman tidak jauh berbeda dengan kelompok
Murji’ah moderat lainnya. Disamping itu, iman menurut Abu Hanifah adalah iqrar dan
tashdiq. Ditambahkannya pula bahwa iman tidak bertambah dan berkurang. Agaknya hal ini
merupakan sikap umum yang ditujukkan oleh Murji’ah, baik ekstrim maupun moderat seperti
Al-Jahmiyah, As-Syimriyah, dan Al-Gailaniyah.[7] Selanjutnya Abu Hanifah berpendapat
bahwa seluruh umat Islam adalah sama kedudukannya dalam tauhid dan keimanan. Mereka
hanya berbeda dari segi intensitas amal perbuatannya.

2.3 Iman dan Kufur menurut Mu’tazilah


            Menurut Mu’tazilah, iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
Jadi, orang yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad
utusan-Nya, tetapi jika tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu maka ia tidak dikatakan
mukmin. Tegasnya iman adalah amal, iman tidak bearti pasif, menerima apa yang dikatakan
orang lain, tetapi iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban
kepada Tuhan.
            Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang mukmin yang mengerjakan dosa besar
dan mati sebelum bertaubat, maka ia tidak lagi mukmin dan tidak pula kafir, tetapi dihukumi
orang fasiq. Di akhirat ia dimasukkan kedalam neraka untuk selama-lamanya, meskipun
neraka orang mukmin tidak sama dengan neraka orang kafir.
            Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu
unsur terpenting dalam konsep iman, bahkan hampir mengidentikkannya dengan iman. Ini
mudah dimengerti karena konsep mereka tentang amal-sebagai bagian penting keimanan-
memiliki keterkaitan langsung dengan masalah al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman) yang
merupakan salah satu dari “pancasila” Mu’tazilah.
            Masalah fluktuasi iman, yang merupakan persoalan teologi yang diwariskan aliran
Murji’ah, disinggung pula oleh Mu’tazilah. Aliran ini berpendapat bahwa manakala
seseorang meningkatkan amal kebaikannya, imannya semakin bertambah. Setiap kali ia
berbuat maksiat, imannya semakin berkurang.

2.4 Iman dan Kufur Menurut Asy’ariyah


            Agak pelik untuk memahami makna iman yang diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-
Asy’ari, sebab didalam karya-karyanya seperti Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma, ia
mendefinisikan iman secara berbeda-beda. Dalam Maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa,
iman adalah qawl dan amal  dan dapat bertambah dan berkurang. Dalam Al-Luma, iman
diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya, bahwa kata mukmin seperti
disebutkan dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 7 memiliki hubungan makna dengan kata
sadiqin dalam ayat itu juga. Dengan demikian, menurut Asy’ari, iman adalah tashdiq bil
qalb (membenarkan dengan hati).
            Di antara definisi iman yang diinginkan Al-Asy’ari dijelaskan oleh Asy-Syahrastani,
salah seorang teolog Asy’ariyah. Asy-Syahrastani menulis:
“ Al-Asy’ari berkata....Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan
dengan kalbu). Sedangkan ‘mengatakan’(qawl) dengan lisan dan melakukan
berbagaikewajiban utama (amal bil arkan) hanyalah merupakan furu’ (cabang-cabang) iman.
Oleh sebab itu, siapapun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan juga
membenarkan utusan-utusan-Nya beserta apa yang mereka bawa darinya, iman orang
semacam itu merupakan iman yang shahih... dan keimanan seorang tidak akan hilang
kecualijika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut.”
            Keterangan Asy-Syahrastani di atas, disamping mengonvergensikan kedua definisi
yang berbeda yang diberikan Al-Asy’ari dalam Maqalat, Al-Ibanah, dan Al-Luma kepada
satu titik pertemuan, juga menempatkan ketiga unsur iman itu (tashdiq, qawl, dan amal) pada
posisinya masing-masing.

2.5 Iman dan Kufur Menurut Maturidiyah


            Dalam masalah iman, aliran Maturidiyah Samarkand bependapat bahwa iman
adalah tashdiq bil qalb, bukan semata-mata iqrar bil lisan. Pengertian ini dikemukakan oleh
Al-Maturidi sebagai bantahan terhadap Al-Karamiyah, salah satu sebsekte Murji’ah. Ia
beragumentasi dengan ayat Al-Qur’an surat Al-Hujurat: 14
Ayat tersebut dipahami Al-Maturidi sebagai suatu penegasan bahwa keimanan itu
tidak cukup hanya dengan perkataan semata, tanpa diimani pula dengan kalbu. Apa yang
diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui
ucapan lidah. Al-Maturidi tidak berhenti sampai disitu. Menurutnya, tashdiq seperti yang
sudah dipahami di atas, harus diperoleh dari ma’rifah. Tashdiq hasil dari ma’rifah ini
didapatkan melalui penalaran akal, bukan sekedar berdasarkan wahyu. Lebih lanjut, Al-
Maturidi mendasari pandanagnnya pada dalil naqli surat Al-Baqarah: 260. Pada ayat tersebut
dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim meminta kepada Tuhan untuk memperlihatkan bukti dengan
menghidupkan orang yang sudah mati. Permintaan Ibrahim tersebut, tidaklah berarti bahwa
Ibrahim belum beriman. Akan tetapi Ibrahim mengharapkan agar iman yang telah dimilikinya
dapat meningkat menjadi iman hasil ma’rifah. Meskipun demikian, ma’rifah menurutnya
sama sekali bukan esensi iman, melainkan faktor penyebab kehadiran iman. Adapun
pengertian iman menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang dijelaskan oleh Al-Bazdawi,
adalah tashdiq bil qalb dan tashdiq bil lisan. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tashdiq bil qalb
adalah menyakini dan membenarkan dalam hati tentang keeseaan Allah dan rasul-rasul-Nya
beserta risalah yang dibawanya. Adapun yang dimaksud denga tashdiq bil lisan adalah
mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran Islam secara verbal.
Pendapat ini tampaknya tidak banyak berbeda dengan Asy’ariah, yaitu sama-sama
menempatkan tashdiq sebagai unsur esensial dari keimanan walaupun dengan pengungkapan
yang berbeda.

2.6 Analisis dan Kesimpulan


            Berdasarkan paparan di atas, jelaslah bahwa dalam konsep iman dan kufur terdapat
perbedaan pendapat di antara aliran-aliran teologi Islam. Perbedaan itu, menurut Hasan
Nasution, sedikit banyak dipengaruhi oleh teori kekuatan akal dan fungsi wahyu. Bagi aliran-
aliran yang berpendapat bahwa akalmencapai kewajiban mengetahui Tuhan (KMT), iman
melibatkan ma’rifah di dalamnya. Dengan demikian, kita melihat, Mu’tazilah dan
Maturidiyah Samarkand tergolong dalam kelompok ini karena menyebutkan ma’rifah dalam
konsep iman dan mereka berpendapat bahwa akal dapat mencapai KMT. Adapun Murji’ah
tidak dapat dikategorikan dalam kelompok ini sebab meskipun merekamenyebut ma’rifah
yang dimaksudnya bukanlah ma’rifah bil qalb.
            Sebaliknya, aliran-aliran yang tidak berpendapat bahwa akal dapat mencapai KMT,
iman dalam konsep mereka tidak melibatkan ma’rifah di dalamnya. Hal ini dapat kita
temukan dalam aliran Asy’ari, Maturidiyah Bukhara. Aliran Khawarij, karena corak
pemikiran kalam mereka lebih bertendensi politik ketimbang intelektual, termasuk dalam
kategori ini.
            Aliran-aliran yang mengintegrasikan amal sebagai salah satu unsur keimanan, yakni
Mu’tazilah dan Khawarij, memandang bahwa iman dapat bertambah atau berkurang.
Sementara aliran-aliran yang tidak memasukan unsur dari iman seperti Murji’ah dan
Asy’ariyah, Maturidiyah Samarkand, dan Maturidiyah Bukhara, berpendapat bahwa iman 
tidak dapat bertambah atau berkurang. Kalaupun iman dapat dikatakan bertambah atau
berkurang, hal itu terjadi pada segi sifatnya.
            Konsekuensi penting lainnya dari pernyataan bahwa amal merupakan unsur penting
dari iman adalah pandangan tegas terhadap kewajiban menegakkan amar ma’ruf dan nahy
mungkar dengan segala kemampuan yang dimiliki. Berdasarkan hadits Rasulullah SAW
tentang amar ma’ruf nahy mungkar, jelaslah bahwa aliran teologi-teologi Islam yang
memasukkan empat unsur pokok kedalam konsep iman memiliki keimanan yang paling
kokoh. Sebaliknya, aliran-aliran yang hanya mengakui satu unsur pokok di dalam konsep
iman menghasilkan iman yang paling lemah.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
  Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah, mengerjakan
segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala perbuatan
yang berbau religious, termasuk di dalamnya masalah kekuasaan adalah bagian dari
keimanan (al-‘amal juz’un minal iman). Menurut Khawarij, orang yang tidak mengerjakan
shalat, puasa, zakat dan lain-lainnya maka orang itu kafir.
  Aliran Murji’ah berpendapat bahwa orang yang melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun
soal dosa besar yang mereka lakukan ditunda penyelesaianya di hari kiamat. Mereka
berpendapat bahwa iman hanya pengakuan dalam hati sehingga orang tidak menjadi kafir
karena melakukan dosa besar.
  Menurut Mu’tazilah, iman adalah pelaksanaan kewajiban-kewajiban kepada Tuhan. Jadi, orang
yang membenarkan (tashdiq) tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya,
tetapi jika tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban itu maka ia tidak dikatakan mukmin.
Tegasnya iman adalah amal, iman tidak bearti pasif, menerima apa yang dikatakan orang lain,
tetapi iman mesti aktif karena akal mampu mengetahui kewajiban-kewajiban kepada Tuhan.
  Menurut Asy’ari, iman adalah tashdiq bil qalb (membenarkan dengan hati).
  Aliran Maturidiyah Samarkand bependapat bahwa iman adalah tashdiq bil qalb, bukan
semata-mata iqrar bil lisan. Sedangkan  menurut Maturidiyah Bukhara, seperti yang
dijelaskan oleh Al-Bazdawi, adalah tashdiq bil qalb dan tashdiq bil lisan.
3.2 Saran
Demikianlah yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dikarenakan terbatasnya pengetahuan
dan kurangnya referensi. Semoga makalah ini berguna bagi penulis dan para pembaca
Daftar pustaka
Abu Zahrah, Muhammad, Tarikh al-Ma⌡ahib al-Islamiyah fi al-Siyasah wa
al-’Aqaid, t.tp: Dar al-Fikr al-’Arabi, t.t.
al-Asy’ari, Maqalat al-Islamiyyin wa Ikhtilaf al-Mus\allin, cet. II; t.tp: Dar
al-Nasyr, t.t.
al-Maturidi, Abu Mansur, Kitab al-Tauhid, Istambul: Maktabah alIslamiyyah Muhammad Ozdoneir,
1979.
al-Syahrastaniy, al-Milal wa al-Nihal, Kairo: Dar al-Fikr, t.t.
Amin, Ahmad, Duha al-Islam, cet. viii, Kairo: Maktabah al-Nahdah alMiriyyah, t.t.
al-Asy’ari, al-Luma’ fi al-Radd ‘ala Ahl al-Zaiq wa al-Bida’, Kairo: Syirkah
Musyahamah al-Misriyyah, 1955.
al-Asy’ariy Abu Hasan, Al-Ibanah al-Usul al-Diyanah, Kairo: Idarah alTiba’ah al-Miriyyah, t.

Vous aimerez peut-être aussi