Vous êtes sur la page 1sur 9

MAKALAH TENTANG KEARIFAN LOKAL(SOSIOLOGI)

TEMA:SEJARAH DAN ADAT ISTIADAT KHAS SUKU KANTUK

KELAS:XII MIPA

MAPEL:SOSIOLOGI

DI

OLEH:LAURENSIUS HENDRA

SMA KARYA BUDI PUTUSSIBAU

ANGKATAN TAHUN AJARAN 2021-2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmatnya sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.

Makalah ini kami susun sebagai tugas praktek dari mata pelajaran sosiologi dengan tema
“Kearifan lokal”.Terima kasih kami sampaikan kepada bapak paskalis selaku guru sosiologi di
SMA KARYA BUDI yang telah membimbing dan memberikan pelajaran dengan baik demi
kelancaran makalah ini.

Demikianlah tugas ini saya susun semoga bermanfaat dan dapat terselesaikan dengan baik
sebagai pemenuhan tugas dari pelajaran sosiologi dan penulis berharap semoga makalah ini
bermanfaat bagi diri kami dan khususnya untuk para pembaca. Tak ada gading yang tak retak,
begitulah adanya makalah ini. Dengan segala kerendahan hati, saran-saran dan kritik yang
konstruktif dan membangun sangat saya harapkan dari para pembaca guna peningkatan
pembuatan makalah pada tugas yang lain dan pada waktu mendatang.
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………..

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………….

BAB. I.

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG…………………………………………………………………….

B.SUKU DAYAK DI KAPUAS HULU…………………………………………………….

C.DAYAK KANTU’ DI KAPUAS HULU………………………………………………….

1. LEGENDA………………………………………………………………………………..

2. ASAL- USUL SUKU DAYAK KANTU’ DI KAPUAS


HULU………………………………………………………………………………………..

D.TUJUAN PENULISAN…………………………………………………………………..

E.PEMILIHAN JUDUL……………………………………………………………………..

F.SUMBER INFORMASI……………………………………………………………………

G.METODOLOGI PENULISAN……………………………………………………………

H.ORGANISASI PENULISAN………………………………………………………………

BAB. II.

ASAL- USUL SUKU DAYAK KANTU’

A.APAKAH DAYAK ITU ?......................................................................................................

B.NGAYAU MENURUT SUKU DAYAK……………………………………………………

C.NGAYAU DALAM FERSI DAYAK KANTU’…………………………………………….

D.PERJANJIAN TUMBANG ANOI…………………………………………………………..

BAB. III.

KESIMPULAN…………………………………………………………………………………

SARAN………………………………………………………………………………………….

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan dan penghidupan, sejarah bagi
komunitas Masyarakat yang mendiami Pulau Borneo semasa Pemerintah Kolonial Belanda
berlangsung, yaitu ketika pada tahun 1874 “Damang Batu’ “seorang Kepala Suku Kahayan
mengumpulkan Suku- suku yang mendiami Pulau Borneo untuk mengadakan musyawarah, yang
dikenal dengan “PERJANJIAN TUMBANG ANOI”.

Dalam musyawarah yang konon berlangsung berbulan- bulan lamanya itu, masyarakat yang
mendiami Pulau Borneo mencapai kata sepakat, untuk :

1. Menyatukan suku- suku yang hidup dipedalaman Pulau Borneo dengan satu sebutan (kolektif )
“DAYAK” hal ini untuk menghindari,

2. NGAYAU, karena ngayau telah menimbulkan perselisihan antar suku- suku tersebut.

3.Akhirnya dalam musyawarah tersebut segala perselisihan dikubur, dan pelakunya didenda
sesuai dengan hukum adat.

Selanjutnya istilah “DAYAK” dipakai meluas, yang secara kolektif merujuk kepada suku-
suku penduduk asli Pulau Borneo yang berbeda- beda bahasa ( khususnya non muslim atau non
melayu ), pada akhir abad ke 19 paska “Perjanjian Perdmaian Tumbang Anoi”

Istilah Dayak dipakai dalam konteks kependudkuan penguasa Kolonial yang mengambil alih
kedaulatan suku- suku yang tinggal di Kalimantan.

Kata “DAYAK” berasal dari kata “Daya” yang artinya “Hulu” untuk menyebut masyarakat
yang berada diperhuluan atau di pedalaman Pulau Kalimantan.

Tanda- tanda tersebut diantaranya :” Rumah Panjang/ Betang Panjang, hasil budaya matrial
seperti Tembikar, Mandau, Sumpit, Beliung ( Kampak Dayak ), pandangan terhadap ( tanda-
tanda) alam, sistem perladangan dan seni tari “.

B. SUKU DAYAK DI KAPUAS HULU

1. Rumpun Suku Bangsa Banuaka’.

2 Rumpun Suku Bangsa Dayak Iban.

3. Rumpun Suku Bangsa Dayak Kayan.

4. Rumpun Suku Bangsa Dayak Gilang dan Sansilat


5. Rumpun Suku Bangsa Dayak Suru’.

6. Rumpun Suku Bangsa Dayak Sebelit/ Mentebah.

7. Rumpuin Suku Bangsa Dayak Embau.

C. DAYAK KANTU’ DI KAPUAS HULU

1. LEGENDA

Legenda lama Suku Dayak Kantu’ yang diceritakan dari mulut kemulut oleh Nenek kepada
Mama, dari Mama kepada Anak sehingga lebih kurang kebenarannya perlu pembuktian.
Legenda tersebut sebagai berikut :

Pertama Raja Mantala ( Tuhan Suku Dayak Kantu’ ) menciptakan tanah (Bumi ), selanjutnya
agar tanah tidak tandus Raja Mantala menciptakan Rumput, kayu, rotan serta akar (sulur- suluran
), dan pada tahap ketiga Raja Mantala menciptakan angkasa luas, bintang- bintang, bulan dan
tata surya lainnya, lalu pada tahap keempat atau yang terakhir Raja Mantala menciptakan
manusia.

2. ASAL – USUL SUKU DAYAK KANTU’ KAPUAS HULU

Suku Dayak Kantu’ adalah bagian dari Rumpun Ibanic, yang berbahasa Malayik Borneo
Barat. Menurut sejarah lisan Suku Dayak Kantu’ berasal dari Ketungau Hulu (Kabupaten
Sintang ), yang selanjutnya menyebar ke Kabupaten Sanggau, dan sebagian setelah berimigrasi
dari Ketungau Hulu Suku Dayak Kantu’ lama menetap di Empanang (wlayah kekuasaan
Penembahan Selimbau), dari sinilah cikal bakal Suku Dayak Kantu’ Kapuas Hulu.

Berdasarkan cerita dari mulut kemulut, dari Kakek kepada Bapak, dari Bapak kepada Anak,
dari Anak kepada Cucu hingga sekarang tidak tertulis maka lebih kurang kebenarannya dari
sesungguhnya, bahwa Nenek Moyang Suku Dayak Kantu’ membawa air disimpan didalam
bambu (Ruaeh Buluh) di Kantu’ Kabupaten Sanggau dan ditumpahkan di sungai (Batang )
Kantu’ di Kecamatan Empanag sekarang.

Tragedi Empanang Deras (Mpanang Deraeh ) pada akhir abad 18 merupakan cerita lama, yang
diyakini “BERAKHIRNYA PENGAYAUAN” antara kedua suku tersebut, yang adalah satu
Rumpun Ibanic, para penulis meletakan bahasa kedua kelompok itu adalah “Malayic Borneo
Barat” ( Lih: Yusriadi, 2008).
Suku Kantu’ adalah salah satu komuditas yang pantas diperhitungkan di Kapuas Hulu, baik
mengenai jumlah maupun sosial politik di Kalimantan Barat, seperti misalnya “ Bappak Pius
Ungkang dan Bapak Rafael Serang bersama- sama dengan Bapak Petrus Buga dan Bapak Aboe
turut menggagas berdirinya Paratai Persatuan Dayak masa Orde Lama, kemudian Bapak Akob
sebagai tokoh Pendidikan pada masanya di Kapuas Hulu, Bapak LH Kadir sebagai Gubernur
Kalimantan Barat (2003 – 2008 ), Bapak Ignatius Liong pernah menjabat Asisten Pemerintah
dan Hukum Sekretaris Daerah Propinsi Kalimantan Barat (2005 ), Bapak John Itang, menjabat
sebagai Kepala Badan Inspektorat Propinsi Kalimantan Barat ( 2008 - 2017 ),

D. TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan buku ini :

1. memberikan kekayaan kepada Pembaca mengenai sejarah dan perkembangan suku- suku
di seluruh Nusantara, khususnya mengenai Suku Dayak Kantu’ yang adalah bagian dari
Suku- suku yang hidup di Nusantara ini.
2. Memberikan gambaran kepada semua pihak, tentang keberadaan Suku Dayak Kantu’ di
Kapuas Hulu Kalimantan Barat.

E. PEMILIHAN JUDUL

Tulisan ini memuat sejarah, adat- istiadat, budaya dan hidup serta kehidupan Suku Dayak
Kantu’ di Kapuas Hulu, dengan beberapa pertimbangan antara lain :

1.Pengaruh terbesar dalam kehidupan Masyarakat Dayak, dalam Musyawarah “Perjanjian


Damai Tumbang Anoi”.

2.Penyebaran Suku Bangsa Dayak di Kapuas Hulu.

3.Pesebaran Suku Dayak Kantu’ di Kapuas Hulu.

F. SUMBER INFORMASI

Sumber informasi dan data yang digunakan, sebagai bahan penulisan buku ini adalah data
sekunder yang diperoleh dari Pemuka Adat, Temenggung serta buku- buku refernsi, hasil
wawancara dengan masyarakat (Adat ) Suku Dayak Kantu’, baik yang ada di Kapuas Hulu
maupun yang berada diperantauan ( Republik Indonesia maupun Luar Negeri )
BAB II

ASAL- USUL SUKU DAYAK KANTU’

A. APAKAH DAYAK ITU…?

Kata “Dayak” berasal dari kata “Daya” yang artinya “Hulu “, untuk menyebut masyarakat
yang berada dipedalaman atau perhuluan sungai di Kalimantan, khususnya di Kalimantan- Barat.

Menarik untuk dikaji, bahwa pada Anggaran Dasar Partai Persatuan Dayak (PD), yang
disahkan oleh kongres I, yang berlangsung dikota Sanggau Kalimantan Barat, tanggal 13 Juli
1950; hal yang pokok dibahas antara lain mengenai penulisan kata “Dayak” sebagai sebutan atau
penamaan Suku Bangsa “asli” dan “tertua” di Kalimantan, tidak lagi ditulis kata “Dayak” dengan
huruf “k” dibelakangnya, tetapi kata itu harus ditulis menjadi kata “Daya” tanpa “k”
dibelakangnya. Karena penulisan kata “Dayak” dengan huruf “k” dibelakangnya mengandung
konotasi negatif pada masa- masa itu.

Meskipun terbagi kedalam ratusan suku, kelompok Suku Bangsa Dayak memiliki ciri- ciri
kesamaan budaya yang khas. Ciri- ciri tersebut menjadi faktor penentu salah satu suku di
Kalimantan bisa dimasukan kedalam kelompok Suku bangsa Dayak. Ciri- ciri tersebut adalah :
“Rumah Betang, hasil budaya seperti Tembikar, Lampit, Mandau, Beliung (Kapak Dayak ), dan
pemandangan terhadap alam, mata pencaharian, sistem peladangan dan seni tari”.

B. NGAYAU MENURUT SUKU DAYAK

Ngayau merupakan tradisi Masyarakat Suku Bangsa Dayak, di Kapuas Hulu Suku Iban dan
Suku Kantu’ jaman dahulu kental memiliki ada tradisi ngayau. Pada tradisi ngayau yang
sesungguhnya, tidak terlepas dari pemenggal kepala musuh ( Manusia).

Citra yang paling populer tentang Suku Bangsa Dayak selama ini adalah berburu kepala
manusia ( Musuh) dalam Pengayauan. Karya Bock, The Head Huters of Borneo yang diterbitkan
di Inggris pada tahun 1881, banyak menyumbang terhadap terciptanya citra Dayak sebagai
“Orang- orang pemburu Kepala Manusia”.

Dalam alegori ini dipaparkan sebuah deskripsi grafis mengenai ritual membelah kepala tiruan
atau “Antu Pala’ “ oleh Lang Singalang Burung ( sesuatu yang melambangkan pemenggal
Kepala Musuh, yang sesungguhnya ) dengan satu tebasan Mandau (Tangkin ) yang dilakukan
dengan cepat, dan dari Kepala yang dibelahnya itu mengalir benih- benih yang bila ditaurkan
akan timbul sosok tubuh manusia

C. NGAYAU DALAM FERSI DAYAK KANTU’


KETIKA Demong Manoh dan Demong Memay beranjak dewasa, Sang ayah Lemamang Tuli
ingin turun berperang ( Ngayau ) dan ia bertindak sebagai Panglima Perang ( Tua’ ). Dalam
persiapan sebelum turun “ngayau”, Lemambang Tuli mengasah “Nyabur” yaitu sejenis Mandau
yang dipergunakan untuk turun berperang ( ngayau). Setelah menghabiskan enam batu asah.
Pada batu asah yang ketujuh terjadi kecelakaan, nyabur yang diasah tergelincir dari batu asah
dan mengiris lengan kirinya sampai putus, peristiwa ini menyebabkan sang panglima perang itu
tewas.

D. PERJANJIAN TUMBANG ANOI

Salah satu pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan komunitas Dayak adalah semasa
Pemerintah Kolonial Belanda berlansung yaitu antara tahun 1874 – 1878 ( kurang lebih tahun-
tahun tersebut ) Damang Batu’ seorang Kepala Suku Dayak Kahayaan mengumpulkan suku-
suku yang berada dipedalaman Kalimantan untuk mengadakan musyawarah damai Tumbang
Anoi. Musyawarah tersebut dikenal dengan “PERJANJIAN TUMBANG ANOI”, sekarang di
Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah.

E. SIMBOL NGUMPUL (BALA ) DALAM PENGAYAUAN

Bungai Jarau adalah alat untuk mengumumkan perang ( Pengayauan ) dalam acara
mengumpulkan rombongan yang akan turun berperang ( Ngumpulkan Bala ). Bungai Jarau Suku
Dayak Kantu’ sama dengan “Mangkok Merah” milik budaya Suku Dayak Kandayatn. Alat atau
bahan yang dipergunakan dalam membuat “Bunga Jarau”: ( Lih, L H. Kadir, 2016 : 230) adalah
sebagai berikut :

1. Kayu kering yang diraut halus, adalah simbul Suluh atau Obor pada malam hari.

2.Batang korek api adalah untuk menyulut obor. Sebelum ada korek api digunakan kayu kering
yang diruncing untuk mendapatkan api ( Ngau Ngusuk tau’ keh buleih api), artinya dengan
menggosokan kayu runcing pada lobang kayu kering sehingga panas dan akhirnya mengeluarkan
api.

3 Bulu Ayam mengandung arti bahwa begitu menerima pemberitahuan harus segera berangkat
menuju desa ( Rumah Panjai ) yang mengirim Bunga Jarau. Apabila Bungai Jarau terhenti, maka
orang atau kampung (Rumah Panjai ) yang menghentikan bisa dikenakan hukum Adat.

4. Daun Gernih (Semacam Daun Lontar) mengadung arti simbolis harus segera berangkat, tidak
perduli musim hujan atau musim kemarau. Daun Gernih yang dibuat untuk bahan dasar kajang
( Sanit) digunakan untuk tutup kepala; terutama waktu hujan.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Budaya dalam Hukum Adat, dapat implementasikan sebagai bahan pembelajaran bahasa
Indonesia di sekolah dengan model teks deskripsi dan teks prosedur,pada teks deskripsi.
Kemampuan pemahaman siswa akan lebih terarah jika penelitian mengenai Budaya dalam
Hukum Adat dijadikan sebagai teks pemodelan, karena teks tersebut merupakan gambaran
kehidupan budaya dan tradisi yang dimiliki dalam kehidupan sehari-hari.

Saran

Harapan peneliti untuk penelitian selanjutkan agar dapat diterima dengan baik sebagai referensi
bagi penelitian sejenisnya dan peneliti menyarakan untuk peneliti selanjutnya dapat
menggunakan ide baru yaitu komputeriasi linguistik agar menambah lema pada kamus KBBI.
peneliti juga menyarakan adanya peneltianlanjutan mengenai leksikon dalam bahasa Dayak
Kantuk.

Vous aimerez peut-être aussi