Vous êtes sur la page 1sur 32

LAPORAN KASUS

“BRONKOPNEUMONIA”

OLEH :

Lia Pramita

I4061191023

PEMBIMBING :
dr. Wiwik Windarti, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK STASE EMERGENSI

PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS TANJUNGPURA

RS PENDIDIKAN UNIVERSITAS TANJUNGPURA

PONTIANAK

2022
LEMBAR PERSETUJUAN

Telah disetujui laporan kasus dengan judul:

“BRONKOPNEUMONIA”

Disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan

Kepaniteraan Klinik Stase Ilmu Emergensi

Pontianak, Mei 2022

Pembimbing, Penulis,

dr. Wiwik Windarti, Sp.A Lia Pramita


BAB I
PENDAHULUAN

Bronkopenumonia merupakan radang dari saluran pernafasan yang terjadi pada


bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia lebih sering dijumpai pada
anak kecil dan bayi, biasanya sering disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia
dan Hemofilus influenza yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi.
Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia di Indonesia pada balita
diperkirakan antara 10-20% pertahun.
Howie SRC, Murdoch DR. Global childhood pneumonia: the good
news, the bad news, and the way ahead. Lancet Glob Health. 2019
Jan;7(1):e4-e5.
Virus adalah penyebab utama pneumonia pada bayi dan balita yang berusia
antara 30 hari dan 2 tahun. Pada anak-anak berusia 2 hingga 5 tahun, virus
pernafasan juga merupakan yang paling umum. Dalam banyak kasus, keluhan
yang terkait dengan pneumonia tidak spesifik, termasuk batuk, demam, takipnea,
dan kesulitan bernafas. Anak kecil mungkin datang dengan gejala sakit perut.
Riwayat penting untuk didapatkan termasuk durasi gejala, pajanan, perjalanan,
kontak sakit, kesehatan dasar anak, penyakit kronis, gejala berulang, tersedak,
riwayat imunisasi, kesehatan ibu, atau komplikasi kelahiran pada neonatus.
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan
terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distress
pernafasan, tidak mau makan dan minum, atau ada penyakit dasar lain,
komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonates dan bayi
kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap. Dasar
tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotic
yang sesuai, serta tindakan suportif.
Ebeledike C, Ahmad T. Pediatric Pneumonia. [Updated 2022 May 8].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536940/
BAB II
PENYAJIAN KASUS

2.1 Identitas
a. Nama : An. MV
b. Jenis Kelamin : Laki-Laki
c. Tanggal Lahir : 2 November 2021 (7 bulan )
d. Alamat : Jl.
e. Waktu Masuk RS : 21 Juni 2022 (10.30 WIB)
f. Status Kepesertaan : BPJS

2.2 Anamnesis
Anamnesa secara allo anamnesa pada tanggal 21 Juni 2022
a. Keluhan Utama
Sesak Nafas
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS Untan diantar keluarga dengan keluhan
sesak nafas sejak ± 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas timbul
terus menerus, terlihat makin lama makin bertambah berat, terutama 4 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak dipengaruhi posisi atau
waktu. Sesak kadang disertai suara “ngik”. Saat sesak tidak ada
pengobatan yang di berikan selama di rumah, ayah pasien mengatakan tidak
ada bibir maupun ujung-ujung jari berwarna kebiruan. Pasien juga
mengalami batuk berdahak namun tidak dapat dilihat wamanya karena
selalu ditelan kembali oleh anak. Batuk sudah dialami sejak ± 3 hari
sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya anak belum pemah sakit seperti
ini. Batuk anak belum diobati. Keluhan disertai demam sejak 2 hari yang
lalu, demam terjadi secara berangsur-angsur. Demam pernah sampai 39
derajat, dan berlangsung hampir sepanjang hari. Setelah diberi obat
paracetamol demam turun sebentar lalu naik lagi. Ayah pasien mengatakan
demam tidak disertai kejang, penurunan kesadaran, menggigil, meracau,
mimisan, gusi berdarah. Terdapat pilek dengan sekret putih bening.
Penurunan berat badan, keringat pada malam hari, dan menggigil disangkal.
Sejak demam BAK berkurang, dan menyusu juga berkurang. Mual, muntah,
diare disangkal.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien pernah mengalami keluhan seperti ini, dan pernah dirawat di
RS UNTAN.
a) Riwayat asma : (-)
b) Riwayat kejang demam : (-)
c) Riwayat epilepsy : (-)
d) Riwayat trauma : (-)
e) Riwayat penyakit paru : (+)
f) Riwayat penyakit jantung : (-)

d. Riwayat Penyakit Keluarga


Dikeluarga pasien tidak ada yang mengalami hal serupa dengan
pasien. Ibu pasien memiliki riwayat Asma dan Ayah pasien memiliki
riwayat Alergi terhadap makanan Seafood.

e. Riwayat Sosial Ekonomi dan Lingkungan


Pasien berobat menggunakan BPJS kelas 3, Ayah pasien seorang
wiraswasta, dan ibu pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tinggal
bersama orangtuanya, pasien tinggal di lingkungan komplek dan diasuh oleh
kedua orangtuanya, Ayah pasien seorang perokok aktif.

f. Riwayat Pengobatan
Pasien hanya minum obat penurun panas yang di beli di Apotek,
pasien memiliki riwayat dirawat di RS Untan
g. Riwayat Kehamilan dan Persalinan
a) Riwayat kehamilan
Pemeriksaan selama hamil sebanyak 4 kali, dan tidak ada tanda-tanda
patologis. Tidak ada penyakit selama kehamilan
b) Riwayat persalinan
1) Tempat persalinan : Puskesmas
2) Penolong persalinan : Bidan
3) Cara persalinan : Spontan/normal
4) Keluhan pasca lahiran : tidak ada
5) Masa gestasi : 38 minggu
6) Riwayat kelahiran :
 Berat badan lahir : 3830 gram
 Panjang badan lahir : 52 cm
 Lingkar kepala : 35 cm.

h. Riwayat Imunisasi
Pasien memiliki riwayat imunisasi hepatitis B, BCG, DPT-Hb-Hib, dan
Polio.

i. Riwayat Makan dan Minum


Pasien diberikan minum ASI ekslusif sejak lahir hingga 11 bulan dan
MPASI (bubur bayi) dimulai saat umur 6 bulan.

j. Riwayat Tumbuh Kembang


Ayah pasien mengatakan tidak terdapat gangguan dalam tumbuh kembang.
Pasien mulai tengkurap dan telentang sendiri usia 4 bulan, menoleh ke suara
sejak usia 5 bulan, duduk dengan berpegangan pada usia 6 bulan. Tertawa di
usia 4 bulan.
k) Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan
Pasien tinggal Bersama ayah, dan ibu.. Penghasilan kedua orang tua 4 juta
sebulan. Ayah pasien merupakan perokok. Ventilasi rumah hanya didepan
dan tidak pernah dibuka karena jika dibuka berdebu. Tinggal di lingkungan
padat penduduk. Sumber air sehari-hari dari PAM.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan fisik pada tanggal 21 Juni 2022
a. Status Gizi
BB : 9,3 kg
TB :70 cm

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Pasien BB/U


Gambar 2. Kurva Pertumbuhan TB/U

Gambar 3. Kurva Pertumbuhan BB/TB

b. Tanda Vital
 Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
 Kesadaran : Compos mentis
 Frekuensi Nadi : 143 x/menit
 Frekuensi Nafas : 63 x/menit, spontan
 Suhu : 38,0oC
 SPO2 : 94 % tanpa O2 dan 99% dengan NK O2 1 lpm

c. Status Generalis
 Kulit : Kemerahan (-), ikterik (-), turgor kulit normal
 Kepala : Normochepal
 Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), cekung (-/-)
 Telinga : Sekret (-/-), kemerahan (-/-), nyeri tekan (-/-)
 Hidung : Nafas cuping hidung (+), secret (-), rinorhea(+)
 Mulut : Mukosa bibir kering (-)
 Tenggorok : Mukosa faring posterior hiperemis (-)
 Leher : Pembesaran KGB (-), deviasi trakea (-)
 Dada : simetris (-), retraksi (+)
 Jantung
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis teraba di SIC 5 linea midclavicular(S), thrill (-)
Perkusi : batas kanan jantung di SIC 4 linea parasternaldekstra, batas
kiri jantung di SIC 5 linea midclavicula sinistra, dan
pinggang jantung di SIC 3 linea parasternal sinistra.
Auskultasi : S1 S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
 Paru
Inspeksi : Simetris, retraksi supraklavikula dan subkostal
Palpasi : Pergerakan dada simetris
Perkusi : sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : suara nafas dasar: vesikuler (+/+), rhonki (+/+),
wheezing (+/+)
 Abdomen :
Inspeksi : Tampak datar
Auskultasi : Bising usus(+)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Shifting dullnes (-), Asites (-)
 Urogenital : tanda-tanda infeksi (-), massa (-)
 Anal-perianal : lubang anus (+), letak normal, fistula (-), massa (-)
 Ekstremitas : Akral hangat, edema (-/-),CRT <2 detik.
 Neurologis : Defisit neurologis (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium
Darah Lengkap

Parameter Hasil Nilai Normal


(21/06/2022)
WBC 12,85 4.00 – 12.0 (10^3/uL)
RBC 4.33 3.50 – 5.20 (10^6/uL)
HGB 14,7 12.0 – 16.0 (g/dL)
HCT 32,3 35.0 – 49.0 (%)
MCV 74,5 80.0 – 100.0 (fL)
MCH 25,2 27.0 – 31.0 (pg)
MCHC 339 310 -370 (g/dL)
PLT 375 100 – 300(10^3/uL)

2. Radiologi (21 Juni 2022)


Rontgen Thorax
Kesimpulan :
- Bronkopneumonia
- Cor dalam batas Normal

2.5 Diagnosis
Bronkopneumonia

2.6 Diagnosis Banding


Bronkiolitis
Asma

2.7 Pemeriksaan yang disarankan


Kultur Dahak
Kultur Darah
Uji tuberkulin

2.8 Penatalaksanaan
1. Non Medikamentosa
a. Rawat Inap
b. Monitor keadaan umum dan tanda vital, awasi perburukan
c. Hindari dari paparan asap rokok maupun asap polusi

2. Edukasi
Menjelaskan bagaimana keadaan pasien dan mengenai penyakit yang
diderita, komplikasi, serta prognosis pasien

3. Medikamentosa
a. IVFD: Dextrose 5%
Kebutuhan cairan anak dengan BB = 9,3 kg 10 kg
10x 100ml/kgBB = 1000ml
→1000 ml/24 jam
→41,6 ml/jam
b. Ampisilin IV 3 x 155 mg
Dosis 25-50 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi tiap 6 - 8 jam (IV/IM)
→ 50 mg x 9,3 kg = 465 mg/hari = 155 mg/8 jam
c. PCT infuse jika demam
Dosis <10 kg: 7,5 mg/kgBB, interval minimal 6 jam, dosis maksimal 30
mg/kgBB
→ 7,5 x 9,3 kg = 69,75 mg
d. Oksigen 2 liter/menit dengan nasal canule, observasi tiap 4 jam

2.9 Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

2.10 Follow Up Ruangan


BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Bronkopneumonia
3.1.1 Definisi
Bronkopenumonia merupakan radang dari saluran pernafasan yang
terjadi pada bronkus sampai dengan alveolus paru. Bronkopneumonia
lebih sering dijumpai pada anak kecil dan bayi, biasanya sering
disebabkan oleh bakteri streptokokus pneumonia dan Hemofilus
influenza yang sering ditemukan pada dua pertiga dari hasil isolasi.
Berdasarkan data WHO, kejadian infeksi pneumonia di Indonesia pada
balita diperkirakan antara 10-20% pertahun.
Howie SRC, Murdoch DR. Global childhood pneumonia: the good
news, the bad news, and the way ahead. Lancet Glob Health. 2019
Jan;7(1):e4-e5.

3.1.2 Epidemiologi
Diperkirakan terdapat 120 juta kasus bronkopneumonia setiap tahun
di seluruh dunia, yang mengakibatkan 1,3 juta kematian. Anak-anak yang
lebih muda di bawah usia 2 tahun di negara berkembang, menyebabkan
hampir 80% kematian anak akibat pneumonia. Prognosis pneumonia
lebih baik di negara maju, dengan lebih sedikit korban jiwa, tetapi beban
penyakit sangat ekstrim, dengan sekitar 2,5 juta kasus setiap tahun.
Sekitar sepertiga sampai setengah dari kasus ini menyebabkan rawat
inap.
 Arif F. Updated Recommendations Of Rcog On Prevention Of
Early Onset Neonatal Group B Streptococcus Infection. J
Ayub Med Coll Abbottabad. 2018 Jul- Sep;30(3):490.
 Chen JC, Jenkins-Marsh S, Flenady V, Ireland S, May M,
Grimwood K, Liley HG.Early-onset group B streptococcal
disease in a risk factor-based prevention setting: A15-year
population-based study. Aust N Z J Obstet Gynaecol. 2019
Jun;59(3):422-429.
 Al Hazzani AA, Bawazeer RAB, Shehata AI. Epidemiological
characterization of serotype group B Streptococci neonatal
infections associated with interleukin-6 level as a sensitive
parameter for the early diagnosis. Saudi J Biol Sci. 2018
Nov;25(7):1356-1364.

Menurut WHO pada tahun 2018 pneumonia merenggut nyawa


lebih dari 800.000 anak balita di seluruh dunia, atau 39 anak per detik.
Separuh dari kematian balita akibat pneumonia tersebut di lima negara
meliputi Nigeria (162.000), India (127.000), Pakistan (58.000),
Republik Demokratik Kongo (40.000), dan Ethiopia (32,000).
Pneumonia juga merupakan penyebab kematian Balita terbesar di
Indonesia. Pada tahun 2018, diperkirakan sekitar 19.000 anak
meninggal akibat neumonia. Estimasi global menunjukkan bahwa
satu jam ada 71 anak di Indonesia yang tertular pneumonia '(WHO,
2019).
WHO. Global Tuberculosis Report 2019. Geneva: World Health
Organization; 2019

3.1.3 Etiologi
Etiologi bronkopneumonia pada populasi anak-anak dapat
diklasifikasikan berdasarkan organisme spesifik usia versus organisme
spesifik patogen.3 Neonatus berisiko terkena bakteri patogen yang ada
di jalan lahir, dan ini termasuk organisme seperti streptokokus grup B,
Klebsiella, Escherichia coli, dan Listeria monocytogenes. 8-10
Streptococcus pneumoniae, Streptococcus pyogenes, dan
Staphylococcus aureus dapat diidentifikasi pada pneumonia neonatal
onset lambat.
 Al Hazzani AA, Bawazeer RAB, Shehata AI. Epidemiological
characterization of serotype group B Streptococci neonatal
infections associated with interleukin-6 level as a sensitive
parameter for the early diagnosis. Saudi J Biol Sci. 2018
Nov;25(7):1356-1364.

Virus adalah penyebab utama pneumonia pada bayi dan balita yang
berusia antara 30 hari dan 2 tahun. Pada anak-anak berusia 2 hingga 5
tahun, virus pernafasan juga merupakan yang paling umum.
Munculnya kasus yang terkait dengan S. pneumoniae dan H.
influenzae tipe B diamati pada kelompok usia ini. Pneumonia
mikoplasma sering terjadi pada anak-anak dalam rentang usia 5
hingga 13 tahun. Namun, S. pneumoniae masih merupakan organisme
yang paling sering diidentifikasi. Remaja biasanya memiliki risiko
infeksi yang sama dengan orang dewasa. Penting untuk
mempertimbangkan tuberkulosis (TB) pada imigran dari daerah
dengan prevalensi tinggi, dan anak-anak dengan pajanan yang
diketahui. Anak-anak dengan penyakit kronis juga berisiko terkena
patogen tertentu. Pada fibrosis kistik, pneumonia sekunder akibat S.
aureus dan Pseudomonas aeruginosa ada di mana-mana. Pasien
dengan penyakit sel sabit berisiko terkena infeksi dari organisme yang
dienkapsulasi. Anak-anak yang immunocompromised harus dievaluasi
untuk Pneumocystis jirovecii, cytomegalovirus, dan spesies jamur jika
tidak ada organisme lain yang teridentifikasi. Anak-anak yang tidak
divaksinasi berisiko terkena patogen yang dapat dicegah dengan
vaksin.11-17

3.1.4 Klasifikasi
WHO mengajukan pedoman diagnosa dan tata laksana yang lebih
sederhana. Berdasarkan pedoman tersebut bronkopneumonia
dibedakan berdasarkan:6
1. Bronkopneumonia sangat berat
Didiagnosis bila terjadi sianosis sentral dan anak tidak sanggup
minum, maka anak harus dirawat di rumah sakit dan diberi
antibiotik.
2. Bronkopneumonia berat
Bronkopneumonia berat didefinisikan bila dijumpai retraksi
tanpa sianosis dan masih sanggup minum, maka anak harus dirawat
di rumah sakit dan diberiantibiotik.
3. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia bila tidak ada retraksi tetapi dijumpai
pernafasan yang cepat yakni: >60 x/menit pada anak usia kurang
dari dua bulan; >50 x/menit pada anak usia 2 bulan- 1 tahun; >40
x/menit pada anak usia 1-5 tahun.
4. Bukan bronkopneumonia
Gejala yang didapatkan hanya batuk tanpa adanya gejala dan
tanda seperti di atas, tidak perlu dirawat dan tidak perlu diberi
antibiotik.

3.1.5 Patogenesis
Pneumonia adalah invasi ke saluran pernafasan bawah, di bawah
laring oleh patogen baik melalui inhalasi, aspirasi, invasi epitel
pernafasan, atau penyebaran hematogen. Terdapat hambatan infeksi
yang meliputi struktur anatomi (rambut hidung, turbinat, epiglotis,
silia), dan imunitas humoral dan seluler. Setelah penghalang ini
dilanggar, infeksi, baik melalui penyebaran fomite/droplet
(kebanyakan virus) atau kolonisasi nasofaring (kebanyakan bakteri),
mengakibatkan peradangan dan cedera atau kematian epitel dan
alveoli di sekitarnya. Hal ini pada akhirnya disertai dengan migrasi sel
inflamasi ke tempat infeksi, menyebabkan proses eksudatif, yang pada
gilirannya mengganggu oksigenasi. Pada sebagian besar kasus,
mikroba tidak teridentifikasi, dan penyebab paling umum adalah
etiologi virus.
Ada empat tahap pneumonia lobar. Tahap pertama terjadi dalam 24
jam dan ditandai dengan edema alveolar dan kongesti vaskular. Baik
bakteri dan neutrofil hadir. Hepatisasi merah adalah tahap kedua, dan
memiliki konsistensi hati. Tahap ini ditandai dengan neutrofil, sel
darah merah, dan sel epitel yang terdeskuamasi. Endapan fibrin di
alveoli sering terjadi. Tahap ketiga hepatisasi abu-abu yang terjadi 2-3
hari kemudian, dan paru-paru tampak coklat tua. terdapat akumulasi
hemosiderin dan hemolisis sel darah merah. Tahap keempat adalah
tahap resolusi, di mana infiltrat selular diserap kembali, dan arsitektur
paru dipulihkan. Jika penyembuhan tidak ideal, maka dapat
menyebabkan efusi parapneumonik dan adhesi pleura.
Pada bronkopneumonia, sering terdapat konsolidasi patch dari satu
atau lebih lobus. Infiltrat neutrofilik terutama berada di sekitar pusat
bronkus.
1. Neuman MI, Monuteaux MC, Scully KJ, Bachur RG. Prediction of
pneumonia in a pediatric emergency department. Pediatrics. 2011
Aug;128(2):246-53.
2. K. Community-acquired pneumonia in children. N Engl J Med. 2002 Feb
(6):429-37.Nohynek H, Valkeila E, Leinonen M, Eskola J. Erythrocyte
sedimentation rate, white blood cell count and serum C-reactive protein in
assessing etiologic diagnosis of acute lower respiratory infections in
children. Pediatr Infect Dis J. 1995 Jun;14(6):484-90.

3.1.6 Manifestasi Klinis


Dalam banyak kasus, keluhan yang terkait dengan pneumonia tidak
spesifik, termasuk batuk, demam, takipnea, dan kesulitan bernafas.
Anak kecil mungkin datang dengan gejala sakit perut. Riwayat
penting untuk didapatkan termasuk durasi gejala, pajanan, perjalanan,
kontak sakit, kesehatan dasar anak, penyakit kronis, gejala berulang,
tersedak, riwayat imunisasi, kesehatan ibu, atau komplikasi kelahiran
pada neonatus.
Usia merupakan faktor penentu dalam manifestasi klinis
pneumonia. Neonatus dapat menunjukkan hanya gejala demam tanpa
ditemukannya gejala gejala fisis pneumonia. Pola klinis yang khas
pada pasien pneumonia viral dan bakterial umumnya berbeda antara
bayi yang lebih tua dan anak, walaupun perbedaan tersebut tidak
selalu jelas pada pasien tertentu. Demam, menggigil, takipneu, batuk,
malaise, nyeri dada akibat pleuritis, retraksi, dan iritabilitas akibat
sesak respiratori, sering terjadi pada bayi yang lebih tua dan anak.
Pneumonia virus lebih sering berasosiasi dengan batuk, mengi,
atau stridor, dan gejala demam lebih tidak menonjol dibanding
pneumonia bakterial. Pneumonia bakterial secara tipikal berasosiasi
dengan demam tinggi, menggigil, batuk, dispneu, dan pada auskultasi
ditemukan adanya tanda konsolidasi paru. Pneumonia atipikal pada
bayi kecil ditandai oleh gejala yang khas seperti takipneu, batuk, ronki
kering (crackles) pada pemeriksaan auskultasi, dan seringkali
ditemukäin bersamaan dengan timbulnya konjungtivitis chlamydial.
Gejala klinis lainnya yang dapat ditemukan adalah distres pernapasan
termasuk napas cuping hidung, retraksi interkosta dan subkosta, dan
merintih (grunting). Semua jenis pneumonia memiliki ronki kering
yang terlokalisir dan penurunan suara respiratori. Adanya efusi pleura
dapat menyebabkan bunyi pekak pada pemeriksaan perkusi.
Pemeriksaan fisik harus mencakup pengamatan untuk tanda-tanda
gangguan pernafasan, termasuk takipnea, nasal flaring, gambar dada
bagian bawah, atau hipoksia pada udara ruangan. Perhatikan bahwa
bayi mungkin datang dengan ketidakmampuan yang dilaporkan untuk
mentolerir makanan, dengan mendengus atau apnea. Auskultasi untuk
rales atau rhonchi di semua bidang paru dengan stetoskop yang
berukuran tepat juga dapat membantu dalam diagnosis. Di negara
maju, tambahan lain seperti pengujian dan pencitraan laboratorium
dapat menjadi bagian bermanfaat dari pemeriksaan fisik. Tidak ada
temuan pemeriksaan fisik yang dapat secara akurat mendiagnosis
pneumonia. Namun, kombinasi gejala, termasuk demam, takipnea,
focal crackles, dan penurunan suara nafas bersamaan, meningkatkan
sensitivitas untuk menemukan pneumonia pada x-ray. Pneumonia
adalah diagnosis klinis yang harus mempertimbangkan riwayat
penyakit saat ini, temuan pemeriksaan fisik, tes tambahan, dan
modalitas pencitraan.
3. Kim YW, Donnelly LF. Round pneumonia: imaging findings in a large
series of children. Pediatr Radiol. 2007 Dec;37(12):1235-40.
4. Hall CB, Powell KR, Schnabel KC, Gala CL, Pincus PH. Risk of
secondary bacterial infection in infants hospitalized with respiratory
syncytial viral infection. J Pediatr.1988 Aug;113(2):266-71.

3.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Evaluasi laboratorium pada anak-anak yang dicurigai menderita
pneumonia idealnya dimulai dengan non-invasif, pengujian cepat di
samping tempat tidur termasuk pemeriksaan usap nasofaring untuk
influenza, virus pernafasan, dan metapneumovirus manusia jika
tersedia dan sesuai. Ini dapat membantu meminimalkan pencitraan
yang tidak perlu dan perawatan antibiotik pada anak-anak dengan
influenza atau bronchiolitis. Anak-anak yang datang dengan penyakit
parah dan tampak beracun harus menjalani hitung darah lengkap
(CBC), elektrolit, pengujian fungsi ginjal/hati, dan kultur darah. Tes
ini umumnya tidak diperlukan pada anak-anak yang datang dengan
penyakit ringan. Penanda inflamasi tidak membantu membedakan
antara pneumonia virus dan bakteri pada populasi anak. Namun, tes
ini dapat diperoleh untuk mengetahui perkembangan penyakit dan
berfungsi sebagai indikator prognostik. Anak-anak yang pernah
berada di daerah endemik TB, atau memiliki riwayat pajanan, dan
datang dengan tanda dan gejala yang mencurigakan untuk pneumonia
harus diambil sampel dahak atau aspirasi lambung untuk biakan.22
Pewarnaan dan kultur gram sputum tidak produktif karena sampel
seringterkontaminasi oleh flora mulut. Kultur darah dapat dilakukan
tetapi seringkali negatif. Saat ini, serologi digunakan untuk
menentukan keberadaan spesies mycoplasma, legionella, dan
chlamydia. PCR tersedia di sebagian besar rumah sakit, tetapi tetap
saja, hasilnya membutuhkan waktu 24-48 jam.
Tidak ada pedoman yang jelas untuk penggunaan rutin rontgen
dada pada populasi anak. Meskipun rontgen dada dapat membantu
dalam diagnosis dan konfirmasi pneumonia, pemeriksaan ini
membawa risiko, termasuk paparan radiasi, biaya terkaitperawatan
kesehatan, dan hasil negatif palsu, meningkatkan penggunaan
antibiotik yang tidak beralasan. Pencitraan harus dibatasi pada anak-
anak yang tampak beracun, mereka dengan penyakit berulang atau
berkepanjangan meskipun telah diobati, bayi berusia 0 hingga 3 bulan
dengan demam, dugaan aspirasi benda asing, atau kelainan bentuk
paru bawaan. Pencitraan juga dapat dipertimbangkan pada anak-anak
di bawah 5 tahun, yang datang dengan demam, leukositosis, dan tidak
ada sumber infeksi yang dapat diidentifikasi.22-24

3.1.8 Tatalaksana
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap.
Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit,
misalnya toksis, distress pernafasan, tidak mau makan dan minum,
atau ada penyakit dasar lain, komplikasi, dan terutama
mempertimbangkan usia pasien. Neonates dan bayi kecil dengan
kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap.
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal
dengan antibiotic yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan
suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi
terhadap gangguan asam basa, elektrolit dan gula darah. Untuk nyeri
dan demam dapat diberikan analgetik/antipiretik.
Terapi suportif yang diberikan pada penderita pneumonia adalah :
1) Pemberian oksigen 2-4 L/menit melalui kateter hidung atau
nasofaring. Jika penyakitnya berat dan sarana tersedia, alat
bantu napas mungkin diperlukan terutama dalam 24-48 jam
2) Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat. Cairan yang
diberikan mengandung gula dan elektrolit yang cukup.
3) Koreksi kelainan elektrolit atau metabolik yang terjadi.
4) Mengatasi penyakit penyerta.
5) Pemberian terapi inhalasi dengan nebulizer bukan merupakan
tata laksana rutin yang harus diberikan.
Pengobatan kausal dengan antibiotic yang sesuai. Antibiotik
parenteral diberikan sampai 48-72 jam setelah panas turun,
dilanjutkan dengan pemberian per oral selama 7-10 hari. Bila diduga
penyebab pneumonia adalah S. Aureus, kloksasilin dapat segera
diberikan. Bila alergi terhadap penisilin dapat diberikan cefazolin,
klindamisin, atau vancomycin. Lama pengobatan untuk stafilokokkus
adalah 3-4 minggu.
Pemberian antibiotik
 Amoksisilin merupakan pilihan pertama untuk antibiotik oral
pada anak <5 tahun karena efektif melawan sebagian besar
patogen yang menyebabkan pneumonia pada anak, ditoleransi
dengan baik, dan murah. Alternatifnya adalah co-amoxiclav,
ceflacor, eritromicsin, claritosmisin, dan azitromisin.
 M. pneumoniae lebih sering terjadi pada anak yang lebih tua
maka antibiotik golongan makrolid diberikan sebagai pilihan
pertama secara empiris pada anak lebih dari 5 tahun.
 Amoksisilin diberikan sebagai pilihan pertama jika S.
pneumoniae sangat memungkinkan sebagai penyebab.
 Jika S. aureus diduga sebagai penyebab, diberikan makrolid,
atau kombinasi flucloxacillin dengan amoksisilin
 Antibiotik intravena diberikan pada pasien dengan pneumonia
yang tidak dapat menerima obat per oral (misal karena
muntah) atau termasuk derajat pneumonia berat.
 Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: ampisilin dan
kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime,
cefotaxime.
 Pemberian antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat
perbaikan setelah mendapat antibiotik intravena.
Elzouki, A.Y., 2012. Textbook of clinical pediatrics. Springer,
Berlin.
Tabel 1. Pemberian antibiotic pada pneumonia pediatric
. MICHIGAN MEDICINE. ANTIBIOTIC TREATMENT
GUIDELINES FOR PNEUMONIA IN PEDIATRIC PATIENTS. Peds
Med Surg Joint Practice Committee. 2021;.
Nutrisi
Pada anak dengan distres pemapasan berat, pemberian makanan per
oral harus dihindari. Makanan dapat diberikan lewat nasogastric tube
(NGT) atau intravena. Tetapi harus diingat bahwa pemasangan NGT dapat
menekan pernapasan, khususnya pada bayi/anak dengan lubang hidung
kecil. Jika memang dibutuhkan, sebaiknya menggunakan ukuran yang
terkecil. Perlu dilakukan pemantauan balans cairan ketat agar anak tidak
mengalami overhidrasi karena pada pneumonia berat terjadi peningkatan
sekresi hormon antidiuretik.
a. Kriteria Rawat Inap
Bayi:
 Saturasi oksigen 92%, sianosis
 Frekuensi napas >60x/menit
 Distres pernapasan, apnea intermiten, atau grunting
 Tidak mau minum/menetek
 Keluarga tidak bisa merawat di rumah
Anak
 Saturasi oksigen <92%, sianosis Frekuensi napas >50 x/menit
 Distres pernapasan
 Grunting
 Terdapat tanda dehidrasi
 Keluarga tidak ada yang bisa merawat di rumah

b. Kriteria Pulang
 Gejala dan tanda pneumonia menghilang
 Asupan per oral adekuat
 Pemberian antibiotik dapat diteruskan di rumah (per oral)
 Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan
rencana kontrol
 Kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan di
rumah

3.1.9 Diagnosis Banding


1. Bronkiolitis
2. Alveolar proteinosis
3. Stenosis aorta
4. Meningitis aseptik
5. Asphyxiating thoracic dystrophy
6. Sindrom aspirasi
7. Asthma
8. Atelektasis
9. Covid-19

3.1.10 Prognosis
Bagi kebanyakan anak, prognosisnya bagus. Pneumonia virus
cenderung sembuh tanpa pengobatan. Gejala sisa jangka panjang
jarang terjadi. Namun, baik pneumonia stafilokokus dan varicella
telah melindungi hasil pada anak-anak.
Anak-anak yang mengalami gangguan kekebalan memiliki
prognosis terburuk. Setiap tahun, sekitar 3 juta anak meninggal karena
pneumonia dan sebagian besar dari anak-anak ini juga memiliki
penyakit penyerta lain seperti penyakit jantung bawaan, imunosupresi
atau penyakit paru-paru kronis prematuritas.
Ebeledike C, Ahmad T. Pediatric Pneumonia. [Updated 2022 May 8].
In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing;
2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536940/
3.1.11 Komplikasi
1. Empyema
2. Efusi pleura
3. Abses paru
4. Necrotizing pneumonia
5. Sepsis
Ebeledike C, Ahmad T. Pediatric Pneumonia. [Updated 2022 May
8]. In: StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls
Publishing; 2022 Jan-. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK536940/
3.1.12 Pencegahan
Pencegahan terhadap pneumonia dapat dicegah dengan pemberian
imunisasi/vaksinasi. saat ini sudah tersedia banyak vaksin untuk
mencegah pneumonia. Setiap vaksin mencegah infeksi bakteri/virus
tertentu sesuai jenis vaksinnya.
Berikut vaksin yang sudah tersedia di Indonesia dan dapat
mencegah pneumonia :
1. vaksin PCV (imunisasi IPD) untuk mencegah infeksi
pneumokokkus (Invasive Pneumococcal diseases, IPD). vaksin PCV
yang sudah tersedia adalah PCV-7 dan PCV-10. PCV 13 belum
tersedia di Indonesia
2. vaksin Hib untuk mencegah infeksi Haemophilus Influenzae tipe b
3. vaksin DPT untuk mencegah infeksi difteria dan pertusis
4. vaksin campak dan MMR untuk mencegah campak
5. vaksin influenza untuk mencegah influenza
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang pasien anak laki – laki, usia 7 bulan, BB 9,3 kg datang ke UGD RS
Untan dengan sesak nafas sejak ± 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas
timbul terus menerus, terlihat makin lama makin bertambah berat, terutama 4 jam
sebelum masuk rumah sakit. Sesak nafas tidak dipengaruhi posisi atau waktu.
Sesak kadang disertai suara “ngik”. Saat sesak tidak ada pengobatan yang di
berikan selama di rumah, ayah pasien mengatakan tidak ada bibir maupun ujung-
ujung jari berwarna kebiruan. Pasien juga mengalami batuk berdahak namun tidak
dapat dilihat wamanya karena selalu ditelan kembali oleh anak. Batuk sudah
dialami sejak ± 3 hari sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya anak belum
pemah sakit seperti ini. Batuk anak belum diobati. Keluhan disertai demam sejak
2 hari yang lalu, demam terjadi secara berangsur-angsur. Demam pernah sampai
39 derajat, dan berlangsung hampir sepanjang hari. Setelah diberi obat
paracetamol demam turun sebentar lalu naik lagi. Sejak demam BAK berkurang,
dan menyusu juga berkurang.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan yaitu kesadaran composmentis, keadaan
umum pasien tampak rewel, Vital sign : Respiratory Rate 63 x/m yang merupakan
nilai prediktif positif bronkopneumonia dari 45%, dan Suhu axilla 38,0˚C.
inspeksi ditemukan napas cuping hidung, dan retraksi intercostal yang merupakan
usaha pernapasan pada anak untuk mengatasi obstruksi dan pada auskultasi di
dapatkan Rhonki dan wheezing. Pemeriksaan fisik yang lain dalam batas normal.
Dari anamnesis dan pemeriksaan fisik tersebut didapatkan diagnosis kerja
Bronkopneumonia. Disebut Bronkopneumonia karena terdapat didapatkan gejala
yang mengarah pada infeksi umum dari bronkopneumonia, yaitu gejala infeksi
umum (demam, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan) dan gejala respiratori
(batuk dan sesak). Pemeriksaan penunjang rontgen toraks didapatkan hasil
bronkopneumonia.
Pneumonia adalah infeksi akut parenkim paru yang meliputi alveolus dan
jaringan interstial. World Health Organization (WHO) mendefenisikan hanya
berdasarkan penemuan klinis yang didapat pada pemeriksaan inspeksi dan
frekuensi nafas. Bronkopneumonia adalah bercak-bercak infiltrat difus merata
pada kedua paru (dapat meluas hinnga daerah perifer paru) disertai dengan
peningkatan corakan peribronkial. Berbagai mikrooranisme dapat menyebabkan
pneumonia, antara lain virus, jamur dan bakteri S. pneumonia merupakan
penyebab tersering pneumonia bakterial pada semua kelompok umur. Virus (
Respiratory Syncytial Virus) lebih sering ditemukan pada anak kurang dari 5
tahun. Virus ( Respiratory Syncytial Virus) merupakan virus penyebab tersering
pada anak kurang dari 3 tahun. Pada umur lebih muda, adenovirus, parainfluenza
virus, influenza virus juga ditemukan. Mycoplasma pneumonia dan Chlamydia
pneumonia, lebih sering ditemukan pada anak-anak, dan biasanya merupakan
penyebab tersering yang ditemukan pada anak lebih dari 10 tahun.
 Retno AS, Landia S, Makmuri MS. Pneumonia. Divisi Respirologi
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSU Dr.Soetomo Surabaya.
 Tanto C, Liwang F, Hanafati S, Pradipta EA. Kapita selekta
kedokteran edisi IV Jilid 1. Media Aesculapius Jakarta 2014
Sebagian besar gambaran klinis pneumonia pada anak berkisar antara ringan
hingga sedang, sehingga dapat berobat jalan saja. Hanya sebagian kecil yang
berat, mengancam kehidupan, dan mungkin terdapat komplikasi sehingga
memerlukan perawatn di RS. Pada pasien ini diindikasikan untuk rawat inap
karena terdapat distress pernapasan (pernapasan cuping hidung, retraksi
intercostal, takipneu) dan penurunan nafsu makan/minum.
Supriyatno B, Kaswandani N. Terapi inhalasi pada penyakit respiratori.
Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak.
Edisi ke-1. Jakarta: IDAI; 2010. h. 350-365.
Gambaran klinis pneumonia pada bayi dan anak bergantung pada berat-
ringannya infeksi tetapi secara umum adalah sebagai berikut :
a. Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan
napsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare;
kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner
b. Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipneu,
napas cuping hidung, merintih dan sianosis.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti pekak perkusi,
suara napas melemah, dan rhonki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil,
gejala dan pneumonia lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi
dan auskultasi paru umumnya tidak ditemukan keluhan.
Pneumonia pada anak umunya didiganosis berdasarkan gambaran klinis yang
menunjukkan keterlibatan sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor
paling kuat adanya pneumonia adalah demam, sianosis dan lebih dari satu gejala
respiratori sebagai berikut : takipneu, batuk, napas cuping hidung, retraksi, ronki
dan suara napas melemah. Napas cepat dinilai dengan menghitung frekuensi napas
selama satu menit penuh ketika bayi/anak dalam keadaan tenang. Sesak napas
dapat dilihat dengan adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam ketika
menarik napas (retraksi epigastrium).
a. Supriyatno B, Kaswandani N. Terapi inhalasi pada penyakit respiratori.
Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku ajar respirologi anak.
Edisi ke-1. Jakarta: IDAI; 2010. h. 350-365.
b. Marcdante KJ, et al. Nelson essentials of pediatrics. 6th ed. Philadelphia:
Saunders. 2011.
Diagnosis bronkopneumonia pada pasien ini ditegakkan berdasarkan
anamnesis, dan pemeriksaan fisik. Pada anamnesis terhadap ibu pasien
(heteroanamnesis) didapatkan keterangan yang mengarah pada gejala infeksi
umum dari bronkopneumonia, yaitu gejala infeksi umum (demam, gelisah,
malaise, penurunan nafsu makan) dan gejala respiratori (batuk dan sesak).
Manifestasi klinis bronkopneumoni didahului beberapa hari dengan gejala infeksi
saluran pernapasan atas (ISPA), yaitu batuk dan rinitis (pada pasien ini didahului
dengan batuk), peningkatan usaha bernafas, demam tinggi mendadak (pada
pneumonia bakteri), dan penurunan nafsu makan. Keluhan yang paling menonjol
pada pasien dengan bronkopenumoni adalah demam, batuk serta sesak.
c. Marcdante KJ, et al. Nelson essentials of pediatrics. 6th ed. Philadelphia:
Saunders. 2011.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan pada Vital sign : Respiratory Rate 63x/m
yang merupakan nilai prediktif positif bronkopneumonia dari 45%, dan Suhu
axilla 38,0˚C. inspeksi ditemukan pernapasan cuping hidung, dan retraksi
intercostal yang merupakan usaha pernapasan pada anak untuk mengatasi
obstruksi dan pada auskultasi di dapatkan Rhonki dan wheezing.

Zain MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB.


Buku Ajar Respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: IDAI; 2010. h. 333-47.

Foto toraks tidak direkomendasikan untuk dilakukan secara rutin pada anak
dengan infeksi saluran nafas bawah akut ringan. Pemeriksaan dilakukan pada
penderita pneumonia yang dirawat inap atau bila tanda klinis yang
membingungkan. Foto torak ulang hanya dilakukan bila didapatkan atelektasis,
kecurigaan terjadi bila kompilkasi pneumonia berat, gejala yang menetap atau
memburuk, atau tidak respon terhadap antibiotik.
Tanto C, Liwang F, Hanafati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran edisi
IV Jilid 1. Media Aesculapius Jakarta 2014
Tetapi foto rontagen toraks AP dan Lateral dapat dilakukan jika pada pasien
ditemukan tanda dan gejala klinik distres pernapasan seperti takipneu, batuk, dan
ronki dengan atau tanpa suara napas yang melemah. Pada pasien di lakukan
pemeriksaan foto thoraks karena ditemukan tanda dan gejala klinik distres
pernapasan seperti takipneu, batuk, dan ronki dengan atau tanpa suara napas yang
melemah.
Tanto C, Liwang F, Hanafati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran edisi
IV Jilid 1. Media Aesculapius Jakarta 2014
Pasien ini didiagnosis banding dengan Bronkiolitis. Bronkiolitis adalah
penyakit IRA-bawah yang ditandai dengan adanya inflamasi pada bronkiolitis.
Umumnya, infeksi tersebut disebabkan oleh virus. Secara klinin ditadai dengan
episode pertama wheezing pada bayi yang didahului dengan gejala IRA.
Diagnosis dapat ditregakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya. Gejala awal berupa infeksi
respiratori atas akibat virus, seperti pilek ringan, batuk dan demam. Satu hingga
dua hari kemudian timbul batuk yang disertau dengan sesak napas. Selanjunya
dapat di temukan wheezing, sianosis dan penurunan nafsu makan. Pemeriksaan
fisik pada anak yang mengarah ke diagnosis bronkiolitis adalah adanya takipneu,
takikardi dan penigkatan suhu, selain itu dapat juga ditemukan konjungtivitis
ringan dan faringitis. Pada pemeriksaan auskultasi paru ditemukan ronki. Sianosis
dapat terjadi dan bila gejala menghebat, dapat terjadi apneu, terutama pada bayi
berusia < 6 minggu. Pada foto rontgen toraks didapatkan gambaran hiperinflasi
dan infiltrat, tetapi gambaran ini tidak spesifik dan dapat ditemukan pada asma,
pneumonia viral atau atipikal dan aspirasi.
Zain MS. Bronkiolitis. Dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB. Buku Ajar
Respirologi anak. Edisi ke-1. Jakarta: IDAI; 2010. h. 333-47.
Kultur bakteri perlu dilakukan untuk mengetahui bakteri penyebab sehingga
dapat ditentukan antibiotik spesifik untuk mengatasi bronkopneumonia. Pada
pasien ini diberi antibiotik. Terapi antibiotik ini ditujukan untuk penanganan
bronkopneumonia. Antibiotik intravena yang dianjurkan adalah: ampisilin dan
kloramfenikol, co-amoxiclav, ceftriaxone, cefuroxime, cefotaxime. Pemberian
antibiotik oral harus dipertimbangkan jika terdapat perbaikan setelah mendapat
antibiotik intravena. Rekomendasi UKK Respirologi Antibiotik untuk community
acquired pneumonia untuk usia > 2 bulan:
a. Lini pertama Ampisilin, bila dalam 3 hari pertama tidak ada perbaikan dapat
ditambahkan kloramfenikol
b. Lini kedua seftriakson
Pemberian antibiotic harus dengan pemantauan yang ketat, minimal tiap 24
jam sekali sampai hari ketiga. Bila penyakit bertambah berat atau tidak
menunjukkan perbaikan yang nyata dalam 24-72 jam ganti dengan antibiotik lain
yang lebih tepat sesuai dengan kuman penyebab yang diduga.
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2010. Buku ajar Respirologi Anak, Ed I.
Jakarta: Badan Penerbit IDAI
BAB V
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

Vous aimerez peut-être aussi